Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika memastikan gempa bumi merupakan gejala alam yang sulit diprediksi kapan datangnya dengan alat secanggih apapun. Namun ilmuwan-ilmuwan di China sejak beberapa tahun lalu telah membuat terobosan baru dalam mendeteksi gejala awal gempa bumi. Bukan alat canggih, tapi perilaku binatang.
Seperti diketahui banyak hewan dapat mendengar suara ultrasonik dan melihat di kegelapan.
ular peka terhadap gelombang ultrasonik
Yang pernah dilakukan negeri Tirai Bambu ini adalah meneliti tingkah polah dan kebiasaan ular. Penelitian dilakukan terhadap peternakan ular selama 24 jam dengan bantuan kamera. Tepatnya di Nanning, sebelah selatan Provinsi Guangxi. Nanning adalah wilayah di China yang sering diterjang gempa.
Kenapa ular? Karena dari hasil penelitian ular merupakan binatang paling sensitif karena memiliki gelombang seismik. Binatang melata ini bisa mendeteksi kemungkinan terjadinya gempa dari jarak 120 km atau sekitar 3-5 hari sebelum gempa benar-benar terjadi.
Penelitian yang dilakukan di Nanning beberapa tahun lalu menunjukkan ular di kandang membentur-benturkan kepalanya di dinding untuk mencari jalan ke luar. Di habitatnya, ular akan ke luar dari sarang menjelang gempa, tidak peduli musim dingin sekali pun.
Seperti diketahui banyak hewan dapat mendengar suara ultrasonik dan melihat di kegelapan.
ular peka terhadap gelombang ultrasonik
Yang pernah dilakukan negeri Tirai Bambu ini adalah meneliti tingkah polah dan kebiasaan ular. Penelitian dilakukan terhadap peternakan ular selama 24 jam dengan bantuan kamera. Tepatnya di Nanning, sebelah selatan Provinsi Guangxi. Nanning adalah wilayah di China yang sering diterjang gempa.
Kenapa ular? Karena dari hasil penelitian ular merupakan binatang paling sensitif karena memiliki gelombang seismik. Binatang melata ini bisa mendeteksi kemungkinan terjadinya gempa dari jarak 120 km atau sekitar 3-5 hari sebelum gempa benar-benar terjadi.
Penelitian yang dilakukan di Nanning beberapa tahun lalu menunjukkan ular di kandang membentur-benturkan kepalanya di dinding untuk mencari jalan ke luar. Di habitatnya, ular akan ke luar dari sarang menjelang gempa, tidak peduli musim dingin sekali pun.
Tidak hanya ular, ilmuwan China juga mengamati perilaku hewan-hewan lain yang ada di kebun binatang. Dari pengamatan itu, beberapa jenis hewan memperlihatkan respons tertentu menjelang terjadinya gempa. Misalnya, hewan-hewan yang sedang melalui tidur panjang akan bangun dan keluar dari persembunyiannya atau hewan-hewan akuatik akan melompat-lompat dari permukaan air.
Jenis-jenis hewan yang diamati antara lain burung merak, katak, ular, kura-kura, rusa, dan tupai. Kantor seismologi China mencatat setidaknya terdapat 130 jenis hewan yang memperlihatkan perilaku abnormal sebelum terjadinya gempa.
Panda, binatang khas China juga bisa menjadi petunjuk. Sebelum gempa besar yang terjadi di Sinchuan beberapa waktu lalu, panda di cagar alam nasional Wolong terlihat gelisah.
Tingkah laku aneh menjelang gempa juga diperlihatkan hewan lainnya. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa kawanan gajah meraung-raung dan berlari liar menjelang gempa besar yang memicu tsunami di Sri Lanka dan India. Gajah bisa mendeteksi bencana lewat kakinya.
Menjelang gempa dan tsunami di Aceh dan Nias pada penghujung 2004 lalu kawanan burung bangau juga berbondong-bondong menjauhi laut/pantai. Gejala yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kalau China meneliti perilaku binatang, bagaimana dengan BMKG?
Dalam situsnya, badan ini menyebutkan prediksi gempa bumi masih dalam taraf penelitian. Parameter prediksi adalah lokasi, besarnya dan waktunya. “Perkiraan lokasi dan besarnya gempa dapat saja dilakukan, namun tantangan yang paling sulit adalah menjawab kapan gempa tersebut terjadi,” demikian BMKG.
Berdasarkan sejarah gempa maka bisa dihitung probabilitasnya; makin kecil gempa maka makin besar probabilitasnya terjadi di lokasi yang memang potensi (seperti di daerah pertemuan lempeng tektonik). Sebaliknya makin besar gempanya maka makin kecil probabilitasnya.
Berdasarkan monitoring tanda-tanda pendahuluan (precursor) gempa bumi besar, maka secara fisika bisa diungkapkan bahwa apabila materi mengalami stres maka beberapa sifat materi tersebut mengalami perubahan yang dapat di monitor, seperti kepadatan, kandungan air, kandungan electron, sifat kemanignitan, sifat radio aktif dan sebagainya.
Di daerah pertemuan lempeng tektonik terjadi akumulasi stres akibat tekanan pergerakan lempeng tektonik. Maka bisa dilakukan monitoring perubahan gravitas, electron, kemagnitan, tinggi air tanah, radon (radio aktif), seismic dan sebagainya.
Sampai saat ini yang dapat dibuktikan adalah setelah gempa besar maka hasil monitoring sebelum terjadi gempa dikaji lagi. Hasilnya memang ada beberapa tanda menunjukkan gejala anomali tertentu. Namun belum dapat disimpulkan bahwa tanda tersebut menandakan gempa akan terjadi, karena tanda tersebut sering juga muncul tanda tanpa disertai adanya gempa besar. Hal ini membuktikan bahwa prediksi gempa belum konsisten secara ilmiah dan belum dapat dikatakan sebagai teknologi yang dapat dipakai.
“China mengoperasikan system prediksi gempa dengan memakai bermacam sensor seperti GPS (Global, Posisioning System), Gravity, magnit, radon, termasuk gejala tingkah laku binatang. Hasilnya memang beberapa kali sukses, namun lebih sering gagal memprediksi gempa besar.”
• Vivanews
Berdasarkan sejarah gempa maka bisa dihitung probabilitasnya; makin kecil gempa maka makin besar probabilitasnya terjadi di lokasi yang memang potensi (seperti di daerah pertemuan lempeng tektonik). Sebaliknya makin besar gempanya maka makin kecil probabilitasnya.
Berdasarkan monitoring tanda-tanda pendahuluan (precursor) gempa bumi besar, maka secara fisika bisa diungkapkan bahwa apabila materi mengalami stres maka beberapa sifat materi tersebut mengalami perubahan yang dapat di monitor, seperti kepadatan, kandungan air, kandungan electron, sifat kemanignitan, sifat radio aktif dan sebagainya.
Di daerah pertemuan lempeng tektonik terjadi akumulasi stres akibat tekanan pergerakan lempeng tektonik. Maka bisa dilakukan monitoring perubahan gravitas, electron, kemagnitan, tinggi air tanah, radon (radio aktif), seismic dan sebagainya.
Sampai saat ini yang dapat dibuktikan adalah setelah gempa besar maka hasil monitoring sebelum terjadi gempa dikaji lagi. Hasilnya memang ada beberapa tanda menunjukkan gejala anomali tertentu. Namun belum dapat disimpulkan bahwa tanda tersebut menandakan gempa akan terjadi, karena tanda tersebut sering juga muncul tanda tanpa disertai adanya gempa besar. Hal ini membuktikan bahwa prediksi gempa belum konsisten secara ilmiah dan belum dapat dikatakan sebagai teknologi yang dapat dipakai.
“China mengoperasikan system prediksi gempa dengan memakai bermacam sensor seperti GPS (Global, Posisioning System), Gravity, magnit, radon, termasuk gejala tingkah laku binatang. Hasilnya memang beberapa kali sukses, namun lebih sering gagal memprediksi gempa besar.”
• Vivanews
No comments:
Post a Comment
Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.