Aku berbaring mesra diatas matras, menatap sinar terawang yang menembus singgasana langit hitam kelam bertabur bintang. Tenda kami berbentuk kubah, sementara rekanku tertidur pulas-mendengkur keras, sesekali menggeliat terbuai mimpi. Sepertinya kami sedikit dejavu tentang napak tilas kali ini. Sementara di luar terlihat di tengah langit mulai benderang, puncak-puncak gunung bakal menangkap sinar matahari pagi yang pertama. Sementara rekanku masih saja bergumul dengan hangatnya sleepingbag dan terlindungi tenda kotak, enggan keluar dari kantong tidur walau harus menyalakan perapian atau sekedar memasak air panas.
Ketika air panas sudah menggeliat, aku mulai memandang ke sekeliling, keindahan hutan primer dengan kanopi tertutup, keindahan Danau Ranukumbolo dan jernihnya air danau di Gunung Semeru. Sinarnya mulai memanas. Perjalanan kali ini akan kembali ditempuh dengan sigap dan cekat.
“Minuman panas!” “Minuman panas!”. Sembari membawa dua gelas buat rekanku.
Aku sudah menduga mual-mual itu akibat ketinggian. Betapa tidak kami sedang berada pada ketinggian 3024 meter, dan dia bukan pendaki gunung. Kami berdua adalah sahabat setia seperjuangan, satu kampus beda jurusan. Annissa di Fakultas Komunikasi dan aku di Fakultas Sastra. Kami sering melalangbuana kepelosok Negara Indonesia mulai Bangka Belitong, Badui, Curug, Gunung Jeram sungai dan Tebing Curam. Semua sudah pernah kita geluti dan telusuri.
“Tahu tidak, cuaca disini sedikit agak buruk, hujan besar dan badai tadi malam”. Aku terlalu sibuk packing sambil ngobrol dengannya.
“Rencana hari ini kita harus turun gunung, aku takut kalo ada apa-apa sama kamu Nis!”.
Hanya mengangguk Nissa mendengar pembicaraanku.
Embun pagi buta sudah mengeraskan permukaan tanah yang gembur dan perjalanan jadi lebih mudah dan becek setelah badai tadi malam. Keringat berkucuran dari wajahku, kali ini berat beban tas-ku agak sedikit melebih, demi keselamatan dan tetap bugar kondisi rekanku, Nissa. Aku paling depan dan Nissa berada satu setengah meter di belakangku. Hal itu terus berlangsung lama sampai-sampai kami mulai harus melangkah berirama dalam hening, berjalan zig-zag menuruni lereng bebatuan. Nissa mulai mencoba berusaha menjaga irama langkah kakinya, sementara aku mulai kelelahan karena beban tas yang lebih berat. Aku sempat khawatir jangan-jangan jarak di antara kami terlalu lebar. Jika seorang pendaki gunung harus melambatkan irama jalannya sesuai langkah rekannya, maka pendaki yang tidak bugar akan segera kelelahan. Aku bisa bayangkan rasa frustasi dan ketegangan yang bakal muncul dalam keadaan seperti itu. Bahkan yang menjadi nilai kurangnya adalah aku ini laki-laki, sementara Annisa itu wanita.
“Gimana keadaanmu?” Tanyaku ketika berhenti untuk istirahat sejenak.
“Yah, begitulah, tapi aku senang dan agak baikkan.” Jawab Nissa sekenanya.
Butuh beberapa jam lagi untuk sampai di pos Ranupane basecamp. Disana ada warung penduduk untuk membeli obat dan bahan makanan, aku rencanakan satu malam lagi kami akan bermalam di Ranupane, untuk memulihkan kondisi kesehatan rekanku. Menuruni bukit itu butuh fokus dan kesiapsiagaan yang waspada, salah menuruni jalan setapak yang menurun fatal akibatnya yaitu terjelembab jatuh kepinggir jurang, aku tak mau hal tersebut terjadi.
Kupegang tangannya dan kusambut dengan mesra lembut tangan kanannya ‘tuk menuruni bukit. Kami sudah tujuh bersama sebagai sahabat. Kami menjalani kehidupan dengan sendiri-sendiri, Annisa lebih respect dengan kehidupan konservasi dan medik, sementara aku berkecimpung dalam gunung hutan dan rock climbing.
Annisa berada di depanku, sengaja aku dahulukan dia berjalan di depanku agar aku bisa melihat kondisinya, berjalan dengan tenang tapi pasti melewati padang ilalang Kalimati. Aku tidak lagi terburu-buru, aku tahu fisik Nissa agak dibawahku.
Kami sering diolok-olok oleh teman sekampus yang sering mengejek kami berdua sudah selayaknya sebagai sepasang kekasih. Tidak! Itu takkan terjadi.
Ufuk lembayung senja sudah diperaduan. Kami sudah sampai di pos Ranupane, segera kuurus kebutuhan administrasi buat kepulanganku besok dan buat berita acara pendakian dipos terdekat.
Kini sudah pukul sepuluh malam, angin bertiup kian kencang menyebabkan suhu sepuluh derajat Celsius itu jauh lebih dingin dari biasanya. Dirundung rasa lelah dan jengkel karena gagal mencapai puncak Mahameru.
“Nis, sana tidur besok kita pulang ke Bandung, aku harus bertanggungjawab atas kesehatan kamu dan mengembalikan ke Orangtua kamu dalam keadaan utuh dan tidak ada lecet sedikitpun, aku masih mau berjelaga disini, menikmati keindahan api ini”. Wawan bersikap dewasa.
“Aku masih mau disini menemani kamu, wan”. “Wan, thanks berat yah, kamu udah jagain aku dan selalu kasih semangat”. Jawab Annisa
Sosok wanita yang aku kenal ini sungguh cantik. Dia memakai jaket consina yang aku beri pada saat ulang tahunnya beberapa tahun yang lalu.
Hijab merah maroon dikepalanya melingkar menutupi indah, hanya raut mukanya yang kelihatan. Aku terlalu berkelebat dengan keindahan wanita ini. Sudah lama aku menyayanginya, tapi aku terlalu sayang kepadanya. Dia sungguh cantik malam ini.
Tujuh tahun waktu yang cukup, tuk saling mengenal. Tapi bagiku ini adalah rasa yang berbeda. Aku belum pernah mengungkapkan perasaan hatiku secara gamblang kepadanya. Aku Bimbang.
“Wan, indah yah malam ini.” Annisa memulai percakapan.
Sementara disisi lain Aku mulai mengumpulkan keberaniaannya. Menaik napas panjang. Mengumpulkan segala adrenalinya ‘tuk berbicara empat mata dengan dia. Ini momentum yang tepat. Aku harus bicara.
Ketika air panas sudah menggeliat, aku mulai memandang ke sekeliling, keindahan hutan primer dengan kanopi tertutup, keindahan Danau Ranukumbolo dan jernihnya air danau di Gunung Semeru. Sinarnya mulai memanas. Perjalanan kali ini akan kembali ditempuh dengan sigap dan cekat.
“Minuman panas!” “Minuman panas!”. Sembari membawa dua gelas buat rekanku.
Aku sudah menduga mual-mual itu akibat ketinggian. Betapa tidak kami sedang berada pada ketinggian 3024 meter, dan dia bukan pendaki gunung. Kami berdua adalah sahabat setia seperjuangan, satu kampus beda jurusan. Annissa di Fakultas Komunikasi dan aku di Fakultas Sastra. Kami sering melalangbuana kepelosok Negara Indonesia mulai Bangka Belitong, Badui, Curug, Gunung Jeram sungai dan Tebing Curam. Semua sudah pernah kita geluti dan telusuri.
“Tahu tidak, cuaca disini sedikit agak buruk, hujan besar dan badai tadi malam”. Aku terlalu sibuk packing sambil ngobrol dengannya.
“Rencana hari ini kita harus turun gunung, aku takut kalo ada apa-apa sama kamu Nis!”.
Hanya mengangguk Nissa mendengar pembicaraanku.
Embun pagi buta sudah mengeraskan permukaan tanah yang gembur dan perjalanan jadi lebih mudah dan becek setelah badai tadi malam. Keringat berkucuran dari wajahku, kali ini berat beban tas-ku agak sedikit melebih, demi keselamatan dan tetap bugar kondisi rekanku, Nissa. Aku paling depan dan Nissa berada satu setengah meter di belakangku. Hal itu terus berlangsung lama sampai-sampai kami mulai harus melangkah berirama dalam hening, berjalan zig-zag menuruni lereng bebatuan. Nissa mulai mencoba berusaha menjaga irama langkah kakinya, sementara aku mulai kelelahan karena beban tas yang lebih berat. Aku sempat khawatir jangan-jangan jarak di antara kami terlalu lebar. Jika seorang pendaki gunung harus melambatkan irama jalannya sesuai langkah rekannya, maka pendaki yang tidak bugar akan segera kelelahan. Aku bisa bayangkan rasa frustasi dan ketegangan yang bakal muncul dalam keadaan seperti itu. Bahkan yang menjadi nilai kurangnya adalah aku ini laki-laki, sementara Annisa itu wanita.
“Gimana keadaanmu?” Tanyaku ketika berhenti untuk istirahat sejenak.
“Yah, begitulah, tapi aku senang dan agak baikkan.” Jawab Nissa sekenanya.
Butuh beberapa jam lagi untuk sampai di pos Ranupane basecamp. Disana ada warung penduduk untuk membeli obat dan bahan makanan, aku rencanakan satu malam lagi kami akan bermalam di Ranupane, untuk memulihkan kondisi kesehatan rekanku. Menuruni bukit itu butuh fokus dan kesiapsiagaan yang waspada, salah menuruni jalan setapak yang menurun fatal akibatnya yaitu terjelembab jatuh kepinggir jurang, aku tak mau hal tersebut terjadi.
Kupegang tangannya dan kusambut dengan mesra lembut tangan kanannya ‘tuk menuruni bukit. Kami sudah tujuh bersama sebagai sahabat. Kami menjalani kehidupan dengan sendiri-sendiri, Annisa lebih respect dengan kehidupan konservasi dan medik, sementara aku berkecimpung dalam gunung hutan dan rock climbing.
Annisa berada di depanku, sengaja aku dahulukan dia berjalan di depanku agar aku bisa melihat kondisinya, berjalan dengan tenang tapi pasti melewati padang ilalang Kalimati. Aku tidak lagi terburu-buru, aku tahu fisik Nissa agak dibawahku.
Kami sering diolok-olok oleh teman sekampus yang sering mengejek kami berdua sudah selayaknya sebagai sepasang kekasih. Tidak! Itu takkan terjadi.
Ufuk lembayung senja sudah diperaduan. Kami sudah sampai di pos Ranupane, segera kuurus kebutuhan administrasi buat kepulanganku besok dan buat berita acara pendakian dipos terdekat.
Kini sudah pukul sepuluh malam, angin bertiup kian kencang menyebabkan suhu sepuluh derajat Celsius itu jauh lebih dingin dari biasanya. Dirundung rasa lelah dan jengkel karena gagal mencapai puncak Mahameru.
“Nis, sana tidur besok kita pulang ke Bandung, aku harus bertanggungjawab atas kesehatan kamu dan mengembalikan ke Orangtua kamu dalam keadaan utuh dan tidak ada lecet sedikitpun, aku masih mau berjelaga disini, menikmati keindahan api ini”. Wawan bersikap dewasa.
“Aku masih mau disini menemani kamu, wan”. “Wan, thanks berat yah, kamu udah jagain aku dan selalu kasih semangat”. Jawab Annisa
Sosok wanita yang aku kenal ini sungguh cantik. Dia memakai jaket consina yang aku beri pada saat ulang tahunnya beberapa tahun yang lalu.
Hijab merah maroon dikepalanya melingkar menutupi indah, hanya raut mukanya yang kelihatan. Aku terlalu berkelebat dengan keindahan wanita ini. Sudah lama aku menyayanginya, tapi aku terlalu sayang kepadanya. Dia sungguh cantik malam ini.
Tujuh tahun waktu yang cukup, tuk saling mengenal. Tapi bagiku ini adalah rasa yang berbeda. Aku belum pernah mengungkapkan perasaan hatiku secara gamblang kepadanya. Aku Bimbang.
“Wan, indah yah malam ini.” Annisa memulai percakapan.
Sementara disisi lain Aku mulai mengumpulkan keberaniaannya. Menaik napas panjang. Mengumpulkan segala adrenalinya ‘tuk berbicara empat mata dengan dia. Ini momentum yang tepat. Aku harus bicara.
Tarikan napas panjang “Annisa...”
Luluh lantak bagai ombak tsunami menerjang dengan kecepatan penuh tapi pasti. Dan kata-kata itu terucap dengan alunan suara jangkrik dan letupan bara api unggun. Sesekali diiringi dengan sabda dan dentuman keindahan kata, semua kata yang diucapkan Aku penuh dengan argumen nyata nan lembut.
Bintang-bintang kelap kelip indah. Sinaran rembulan menelusup dalam sanubari hati. Alampun ikut bermelankolis mengantarkan kata dan suara indahnya. Malam itu menjadi saksi awal percintaan sepasang kekasih baru. Hanya senyuman manis yang tersaji pada balutan wajah Annisa, dia tidak bicara-hanya merenung dan mimik muka yang sedih lembut.
Luluh lantak bagai ombak tsunami menerjang dengan kecepatan penuh tapi pasti. Dan kata-kata itu terucap dengan alunan suara jangkrik dan letupan bara api unggun. Sesekali diiringi dengan sabda dan dentuman keindahan kata, semua kata yang diucapkan Aku penuh dengan argumen nyata nan lembut.
Bintang-bintang kelap kelip indah. Sinaran rembulan menelusup dalam sanubari hati. Alampun ikut bermelankolis mengantarkan kata dan suara indahnya. Malam itu menjadi saksi awal percintaan sepasang kekasih baru. Hanya senyuman manis yang tersaji pada balutan wajah Annisa, dia tidak bicara-hanya merenung dan mimik muka yang sedih lembut.
Annisa hanya mengangguk manis nan lembut disisi sebelahku. Tak perlu berkata dan berbicara itu tanda setuju.
Dalam hati terdalam annisa berkata: “Kalau saja dari dulu kau berbicara tentang ini sudah pasti akan kuterima”.
Mata Annisa malam ini berkaca-kaca, tapi tidak keluar airmata. Dia sudah menunggu cukup lama akan hal tersebut. Hampir putus asa. Karena dia menyimpan perasaan yang sama terhadap Wawan.
Bintang-bintang bersinar terang, bulan tersenyum lebar. Hanya airmata kebahagiaan yang tersaji indah pada sepasang kekasih baru. Aku milikmu malam ini kan memelukmu sampai pagi.
Dalam hati terdalam annisa berkata: “Kalau saja dari dulu kau berbicara tentang ini sudah pasti akan kuterima”.
Mata Annisa malam ini berkaca-kaca, tapi tidak keluar airmata. Dia sudah menunggu cukup lama akan hal tersebut. Hampir putus asa. Karena dia menyimpan perasaan yang sama terhadap Wawan.
Bintang-bintang bersinar terang, bulan tersenyum lebar. Hanya airmata kebahagiaan yang tersaji indah pada sepasang kekasih baru. Aku milikmu malam ini kan memelukmu sampai pagi.
Tema Bimbang - Melly Goeslow [disini]
aw, ceritanya romantis sekali :)
ReplyDeletekata saya: jangan jatuh cinta sama orang yang suka naik gunung. bahaya :D
ReplyDeleteBisa diteruskan hobi positifnya :)
ReplyDeleteoh, so sweet ..
ReplyDeletehem... jatuh cinta dengan orang yang suka naik gunung itu luar biasa ya
ReplyDelete