Etnobotani dalam Perkembangan Pengelolaan dan Pemanfaatan Kehati
Oleh: Prof. Johan Iskandar, Ph.D., M.Sc
Dosen Etnobiologi Jurusan Biologi FMIPA dan Peneliti PPSDAL-LPPM Unpad
Ringkasan Eksekutif
Etnobiologi merupakan salah satu bidang disiplin ilmu yang relatif baru. Sejatinya, istilah etnobiologi secara formal baru didefinisikan oleh Edward Castetter pada tahun 1935. Pada awalnya etnobiologi didefinisikan sangat sederhana, yaitu “studi tentang pemanfaatan tumbuhan dan binatang oleh penduduk primitif”. Tetapi, kini istilah etnobiologi didefinisikan secara lebih luas dan kompleks. Etnobiologi dapat diratikan sebagai “studi tentang bagaimana penduduk dengan interpretasi tradisi budayanya, mengkonsepsikan, menggambarkan, memanfaatkan, dan secara umum mengelola pengetahuan mereka dalam ranah pengalaman terhadap lingkungan yang menyangkut organisme-organisme hidup, yang dalam pembatasan studi ilmiah (science) dikenal sebagai botani, zoologi dan ekologi”.
Meski etnobiologi secara umum merupakan ilmu yang relatif baru. Ilmu tersebut telah berkembang dengan sangat pesat. Kini, kajian etnobiologi telah menjadi suatu kajian interdisiplin yang khas dan luas, baik secara teori maupun praktik. Misalnya, kajian tentang pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam dan keanekaan hayati (kehati) oleh berbagai kelompok masyarakat lokal. Berdasarkan berbagai kajian etnobiologi secara lintas budaya di berbagai belahan dunia, pada umumnya masyarakat lokal dengan berbekal modal pengetahuan lokalnya, telah mampu dan berhasil melindungi proses-proses ekologi potensial, melindungi aneka ragam species atau varietas tumbuhan dan hewan, beserta ekosistemnya, untuk kepentingan ekonomi lokal mereka secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, tidalah heran bahwa pengetahuan lokal, yang merupakan kajian utama etnobiologi sejak tahun 1990-an, telah banyak dikaji oleh berbagai kalangan untuk dimanfaatkan bagi berbagai program pembangunan, misalnya pada bidang pengobatan dan kesehatan, pertanian, peternakan, kehutanan, dan konservasi alam dan keanekaan hayati. Meningkatnya perhatian terhadap etnobiologi juga seiring dengan perubahan mendasar paradigma pembangunan di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia, yang mengadopsi pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terutama tampak pasca Konferesi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development-UNCED) tahun 1992, di Rio de Janeiro, Brasil. Hasil konferensi tersebut telah disepakati dan menjadi komitmen bagi semua negara di dunia, bahwa pembangunan parsial yang hanya menekankan pada pembangunan ekonomi diganti dengan paradigma pembangunan berkelanjutan. Yaitu, pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pada pembangunan berkelanjutan, aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup diintegrasikan. Jadi, berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan, maka pembangunan tersebut harus progender, prolapangan kerja, dan prorakyat miskin, prolingkungan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan utama pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) global, termasuk di Indonesia, yang mentargetkan 8 sasaran utama. Yaitu, menanggulangi kelaparan dan kemiskinan; mencapai pendidikan dasar untuk semua; mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan wanita; mengurangi angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDs, malaria, dan penyakit menular lainnnya; meningkatkan kerjasama global soal pembangunan; dan melindungi kelestarian lingkungan.
Pada masa silam, sebelum sistem ekonomi pasar masuk deras ke berbagai pelosok pedesaan di Indonesia. Pada umumnya hubungan timbal balik penduduk desa dengan sumber daya alam kehati dan lingkungannya adalah bersifat sistem kompleks corpus-cosmos-praxis. Dengan kata lain, bahwa berbagai kegiatan penduduk (praxis) dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan kehati dilandasi kuat oleh sistem kepercayaan (cosmos) dan sistem pengetahuan/kognitif (corvus) mereka. Jadi, sejatinya meski tingkat pendidikan formal penduduk pedesaan di Indonesia rendah, tetapi dari segi pengalaman dan kearifan ekologi yang berlandaskan pada pengetahuan dan budaya lokal, mereka itu cukup ‘terdidik’. Penduduk desa pada umumnya telah mampu memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam dan kehati serta lingkungannya secara berkelanjutan.
Namun, sayangnya berbagai pengetahuan dan budaya masyarakat lokal, kini cenderung masih kurang diberdayakan dalam berbagai program pembangunan di Indonesia. Alih-alih kini pembanguan di Indonesia cenderung telah menyebabkan erosi pengetahuan lokal dan kerusakan sumber daya alam, kehati dan lingkungan atau ekosistem. Misalnya, dengan kian derasnya penetrasi ekonomi pasar dan eksplotasi sumberdaya alam dan kehati pedesaan oleh para pemodal besar dari luar, terjadilah berbagai kerusakan ekosistem, dan berubahnya pengetahuan lokal, serta pola ekploitasi sumberdaya alam dan kehati oleh penduduk lokal. Akibatnya, timbul kemiskinan di pedesaan Indonesia yang juga berdampak pada kemiskinan di perkotaan.
Jadi, dengan telah diadopsinya paradigma pembangunan berkelanjutan di Indonesia, seharusnya terjadi berbagai pergeseran. Misalnya, pembangunan yang bersifat sentralistik, penyeragaman dan top-down seharusnya diubah menjadi bottom-up, dengan pemberdayaan masyarakat lokal secara aktif. Hal tersebut termasuk juga memberdayakan berbagai pengetahuan lokal dengan kajian-kajian etnobiologinya. Karena itu, berbagai kajian etnobiologi menjadi kian penting digalakkan di Indonesia, mengingat Indonesia memiliki keanekaan budaya dan keanekaan hayati yang sangat kaya, yang dapat digunakan menopang pembangunan berkelanjutan. Kini kalangan konservasi internasional pun telah sepakat untuk melindungi keanekaan bahasa ibu dan aneka ragam pengetahuan penduduk asli, yang diintegrasikan menjadi suatu tujuan pokok dalam berbagai program konservasi alam yang diorientasikan pada keanekaan biokultural. Sekiranya tujuan untuk mengkonsevasi alam dan keanekaan hayati yang hanya menekankan pada aspek ekosistem saja, tanpa memperhatikan faktor-faktor budaya lokal, maka tujuan konservasi tersebut sulit untuk dapat diwujudkan. Makalah ini membahas tentang kajian etnobiologi, terutama terkait dengan berbagai kasus pemanfaatan dan pengelolaan kehati oleh masyarakat lokal di Indonesia, seperti contoh kasus tentang pengelolaan tanaman padi di sistem ladang dan sawah; pengelolaan sistem agroforestri pekarangan dan talun; pemanfaatan aneka ragam tumbuhan bagi pengobatan dan kesehatan manusia dan penyakit ternak; dan upaya konservasi alam dan keanekaan hayati. Pada makalah ini didiskusikan pula berbagai pembelajaran yang dapat dipetik dari aneka ragam pengalaman penduduk lokal dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan kehati bagi menunjang pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Meski etnobiologi secara umum merupakan ilmu yang relatif baru. Ilmu tersebut telah berkembang dengan sangat pesat. Kini, kajian etnobiologi telah menjadi suatu kajian interdisiplin yang khas dan luas, baik secara teori maupun praktik. Misalnya, kajian tentang pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam dan keanekaan hayati (kehati) oleh berbagai kelompok masyarakat lokal. Berdasarkan berbagai kajian etnobiologi secara lintas budaya di berbagai belahan dunia, pada umumnya masyarakat lokal dengan berbekal modal pengetahuan lokalnya, telah mampu dan berhasil melindungi proses-proses ekologi potensial, melindungi aneka ragam species atau varietas tumbuhan dan hewan, beserta ekosistemnya, untuk kepentingan ekonomi lokal mereka secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, tidalah heran bahwa pengetahuan lokal, yang merupakan kajian utama etnobiologi sejak tahun 1990-an, telah banyak dikaji oleh berbagai kalangan untuk dimanfaatkan bagi berbagai program pembangunan, misalnya pada bidang pengobatan dan kesehatan, pertanian, peternakan, kehutanan, dan konservasi alam dan keanekaan hayati. Meningkatnya perhatian terhadap etnobiologi juga seiring dengan perubahan mendasar paradigma pembangunan di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia, yang mengadopsi pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terutama tampak pasca Konferesi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development-UNCED) tahun 1992, di Rio de Janeiro, Brasil. Hasil konferensi tersebut telah disepakati dan menjadi komitmen bagi semua negara di dunia, bahwa pembangunan parsial yang hanya menekankan pada pembangunan ekonomi diganti dengan paradigma pembangunan berkelanjutan. Yaitu, pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pada pembangunan berkelanjutan, aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup diintegrasikan. Jadi, berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan, maka pembangunan tersebut harus progender, prolapangan kerja, dan prorakyat miskin, prolingkungan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan utama pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) global, termasuk di Indonesia, yang mentargetkan 8 sasaran utama. Yaitu, menanggulangi kelaparan dan kemiskinan; mencapai pendidikan dasar untuk semua; mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan wanita; mengurangi angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDs, malaria, dan penyakit menular lainnnya; meningkatkan kerjasama global soal pembangunan; dan melindungi kelestarian lingkungan.
Pada masa silam, sebelum sistem ekonomi pasar masuk deras ke berbagai pelosok pedesaan di Indonesia. Pada umumnya hubungan timbal balik penduduk desa dengan sumber daya alam kehati dan lingkungannya adalah bersifat sistem kompleks corpus-cosmos-praxis. Dengan kata lain, bahwa berbagai kegiatan penduduk (praxis) dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan kehati dilandasi kuat oleh sistem kepercayaan (cosmos) dan sistem pengetahuan/kognitif (corvus) mereka. Jadi, sejatinya meski tingkat pendidikan formal penduduk pedesaan di Indonesia rendah, tetapi dari segi pengalaman dan kearifan ekologi yang berlandaskan pada pengetahuan dan budaya lokal, mereka itu cukup ‘terdidik’. Penduduk desa pada umumnya telah mampu memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam dan kehati serta lingkungannya secara berkelanjutan.
Namun, sayangnya berbagai pengetahuan dan budaya masyarakat lokal, kini cenderung masih kurang diberdayakan dalam berbagai program pembangunan di Indonesia. Alih-alih kini pembanguan di Indonesia cenderung telah menyebabkan erosi pengetahuan lokal dan kerusakan sumber daya alam, kehati dan lingkungan atau ekosistem. Misalnya, dengan kian derasnya penetrasi ekonomi pasar dan eksplotasi sumberdaya alam dan kehati pedesaan oleh para pemodal besar dari luar, terjadilah berbagai kerusakan ekosistem, dan berubahnya pengetahuan lokal, serta pola ekploitasi sumberdaya alam dan kehati oleh penduduk lokal. Akibatnya, timbul kemiskinan di pedesaan Indonesia yang juga berdampak pada kemiskinan di perkotaan.
Jadi, dengan telah diadopsinya paradigma pembangunan berkelanjutan di Indonesia, seharusnya terjadi berbagai pergeseran. Misalnya, pembangunan yang bersifat sentralistik, penyeragaman dan top-down seharusnya diubah menjadi bottom-up, dengan pemberdayaan masyarakat lokal secara aktif. Hal tersebut termasuk juga memberdayakan berbagai pengetahuan lokal dengan kajian-kajian etnobiologinya. Karena itu, berbagai kajian etnobiologi menjadi kian penting digalakkan di Indonesia, mengingat Indonesia memiliki keanekaan budaya dan keanekaan hayati yang sangat kaya, yang dapat digunakan menopang pembangunan berkelanjutan. Kini kalangan konservasi internasional pun telah sepakat untuk melindungi keanekaan bahasa ibu dan aneka ragam pengetahuan penduduk asli, yang diintegrasikan menjadi suatu tujuan pokok dalam berbagai program konservasi alam yang diorientasikan pada keanekaan biokultural. Sekiranya tujuan untuk mengkonsevasi alam dan keanekaan hayati yang hanya menekankan pada aspek ekosistem saja, tanpa memperhatikan faktor-faktor budaya lokal, maka tujuan konservasi tersebut sulit untuk dapat diwujudkan. Makalah ini membahas tentang kajian etnobiologi, terutama terkait dengan berbagai kasus pemanfaatan dan pengelolaan kehati oleh masyarakat lokal di Indonesia, seperti contoh kasus tentang pengelolaan tanaman padi di sistem ladang dan sawah; pengelolaan sistem agroforestri pekarangan dan talun; pemanfaatan aneka ragam tumbuhan bagi pengobatan dan kesehatan manusia dan penyakit ternak; dan upaya konservasi alam dan keanekaan hayati. Pada makalah ini didiskusikan pula berbagai pembelajaran yang dapat dipetik dari aneka ragam pengalaman penduduk lokal dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan kehati bagi menunjang pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Ombeny dan Pak Johan Iskandar |
No comments:
Post a Comment
Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.