Napak Tilas Cinta

Dua puluh derajat celcius temperatur kota Bandung malam ini. Tak tahu mengapa malam ini begitu terasa dingin, jaket dan sweeter melapisi tubuhku ‘tuk keluar dari kosan tercinta untuk membeli bahan makanan untuk keperluan ekspedisi ke Gunung Rinjani, Lombok. Padahal saya tahu sendiri, Bandung merupakan kota yang dikelilingi oleh tipikal gunung-gunung tua, hampir di setiap empat arah mata angin ada gunung yang melapisinya ‘bak tembok raksasa, bagian timur melintasi Gunung Manglayang dan Tampomas. Cek dibagian selatan yang terkenal Gunung Tangkuban Perahu, dan arah Barat ada Gunung Halu dan Karst Citatah. Sedangkan pada arah utara ada Patahan Lembang dan Bukit Tunggul. Sudah selayaknya Bandung menjadi dingin.

Bandung merupakan kota indah dan surganya para bidadari cantik, tempatnya mencari makanan enak dan murah. Ya aku suka dengan Bandung. Tepat pukul 23.14 WIB diri ini masih disibukkan dengan mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa dalam perjalanan kali ini. Besok 19 Januari 2010 bertepatan dengan ekspedisi ilmiah yang akan dilakukan bersama rekan sejawatku besok.

Packing saja aku belum melaksanakannya, padahal itu merupakan hal terpenting dalam perjalanan kali ini. Dikamar, saya terlihat menyibukkan diri mempersiapkan peralatan pendakian. Merapikan, kemudian memasukkan satu persatu kedalam ransel kapasitas 60 liter. Sangat cekatan menyiapkan semua peralatannya, tampaknya tidak ingin satupun peralatan yang terlupa. Saya paham betul harus meletakkan peralatannya dibagian mana. Mempertimbangkan kenyamanan, dengan mengatur titik berat beban cariel itu dengan sempurna. Tentu memperhatikan juga fungsi sebuah peralatan. Peralatan yang sangat diperlukan dalam kondisi terdesak diletakkannya di tempat yang mudah terjangkau dan mudah dikeluarkan.

Packing, salah satu seni dalam sebuah manajemen perjalanan kegiatan alam bebas. Mempersiapkan segala sesuatu dengan matang dan terencana dengan mempertimbangkan semua resiko yang akan di hadapi. Tapi yang terlihat disini bukan sekadar seni dan kebutuhan hidup ketika yang melakukan dengan tegas dan yakin apa yang saya kerjakan. Mewakili ketegasannya ketika mengambil sebuah keputusan. Keputusan untuk harus menjalani hidup seperti apa dengan ketenangan untuk tetap survive dalam kondisi apapun.

Dengan naik gunung pun kita berlatih memotivasi diri. Karena di gunung yang menjadi penghalang utama adalah si pendaki itu sendiri. Capek-lah, dingin-lah, masih jauh-lah hingga mereka tidak mau melanjutkan perjalanannya. Kalau saja mereka bisa mengalahkan perasaan itu dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa sangat berguna pada saat kita menghadapi masalah pelik.

Begitu juga dengan sifat cermat membuat perhitungan dan tidak mudah mengeluh. Kondisi alam bebas yang sulit diduga menuntut persiapan dan perhitungan yang matang, kalaupun ada yang meleset harus kita hadapi dengan pikiran dingin dan lapang dada tanpa saling menyalahkan. Di tengah hutan kita akan mengeluh kepada siapa, toh yang kita keluhi pun dalam kondisi yang sama, malah-malah keluhan kita bisa mengendorkan mentalitas rekan lainnya.


Dalam melakukan aktivitas ini kita dituntut untuk selalu jujur, misal suatu ketika kita melakukan pendakian seorang diri dan tidak mencapai puncak. Bisa saja kita bilang sampai di puncak, ‘toh tak ada saksi yang akan menyanggahnya, disinilah kita harus jujur, karena pengalaman yang terjadi mungkin berguna bagi teman-teman yang lain. Bila kita sudah mencapai tahap ini, puncak bukan lagi menjadi sasaran utama. Begitu pula dengan kebanggaan yang dulu sampai-sampai bisa menyesakkan dada karena berhasil menaklukkan sebuah puncak, perlahan akan hilang. Karena yang lebih esensi dalam tahap ini adalah bagaimana kita mendapatkan tantangan baru dan bagaimana memecahkannya.

Gunung Rinjani menjadi gunung terindah yang akan di daki bersama rekanku kali ini. Tiga ribu tujuh ratus dua puluh enam meter diatas permukaan laut tinggi gunung tersebut. Kearifan budaya lokal masih terjaga, serta keindahan alam Rinjani menjadi surga para pecinta alam. Padang savana, Danau segara anak, Anak Gunung Barujari, keeksotisan ekosistem hutan dataran tinggi, rapatnya kanopi tumbuhan yang menyusunnya dan adanya air panas lengkap sudah rumah sang “Dewi Anjani” ini.

Terseok-terseok perjalanan dengan beban berat di punggung. Melihat wajah lesu rekanku membuat miris hati ini, beban berat hampir sepertiga berat badan ditambah medan lurus tajam menanjak dan suhu panas membara membuat kami putus asa menapaki demi tapak langkah kaki ini. Lelah sudah menjadi hal biasa, haus tak terelakkan lagi dan pegal betis ditahan bahkan lecet dikaki pun dianggap biasa. Sore pukul 17.05 WITA seharusnya tim sudah sampai di pos peristirahatan Plawangan Sembalun, tapi tinggal etape tanjakan curam terakhir.

Aku sudah sampai dahulu disusul dengan Ono, tubuhku memang besar dan lincah sehingga bisa sampai duluan. Tapi rekan yang lainnya Adang dan Arif terlihat mendayu-dayu wajahnya menahan rasa lelah. Aku hanya bisa memberi semangat dari atas Plawangan Sembalun.

***

Sesampainya di pos Sembalun tim segera melalukan tugasnya masing-masing, ada yang mendirikan tenda, mencari kayu bakar dan memasak air panas. Suhu kali ini lebih dingin dari biasanya, bahkan sampai mengeluarkan asap dari mulutku, padahal ini masih sore bagaimana dengan tengah malam nanti.

Setelah diskusi dan evaluasi malam ini, semua tim bergerak untuk tidur, kecuali aku yang belum menjalankan perintahNya yaitu Sholat Isya dan Maghrib yang sengaja aku jamak.

Malam ini agak cerah, bertebaran bintang dan rembulan penuh ada diperaduan. Disisi tenda yang lain terlihat sosok wanita cantik, dengan jaket merah maroon dan syal masih menggantung di leher. Kuamati dengan seksama, dia sedang menghangatkan badannya diantara perapian. Segera kutunaikan sholat kali ini, sudah pukul delapan malam dan dinginnya sudah sampai di ubun-ubun. Segera ikut menghangatkan badan bersama wanita tersebut.

“Hai boleh saya ikut duduk?”

“Silahkan”

“Namaku Wawan, kamu siapa?” Sambil menjulurkan tangan.

Terlihat dengan jelas agak maya wajah cantiknya, beliau begitu anggun dihiasi hijab biru tua dan jaket merah maroon dengan terpaan warna merah bata dari cahaya api unggun. Dia cantik.

“Sari”. Singkat jelas dan padat, sepertinya dia tidak ingin berkenalan lebih jauh lagi. Aku tak mau menyerah.

Percakapan basi mengawaliku “Sama siapa kesini? Gimana kabar? Dingin nggak?” Sampai api unggun tinggal bara merah saja. Sudah pukul sebelas malam. Dia pun meminta izin ‘tuk beristirahat karena besok subuh perjalanan lebih berat dan menantang.

***

Sore di Danau Segara Anak. Seusai melakukan perjalanan di pagi buta tadi menapaki puncak tertinggi Gunung Rinjani dan tim pun berhasil mencapai puncak. Sore ini tidak ada aktivitas yang berarti, kami tim beristirahat dengan santai, menikmati indahnya Danau Segara Anak. Sambil menciptakan perapian ku mulai beraksi dengan mengumpulkan kayu dan starter. Cekatan tapi pasti api unggun pun nyala.

Sore indah ini ku melirik sekitar tenda, dimanakah wanita yang tadi malam ku berkenalan. Mungkin dia tidak ada di sekitar tendaku. Sambil mengambil air wudhu ku mulai membasuh tangan dan kaki. Tak disangka tak dikira ternyata Sari ada di sampingku sedang mencuci nesting. Terpana ku memadangnya.

Malam terakhir di Gunung Rinjani. Bersenda gurau bercerita dan diskusi santai bersama teman-teman. Kali ini aku mencoba keluar dari pembicaraan dan menghampiri Sari yang sedang ngobrol bersama rekan-rekannya. Sambil berkenalan dan ngobrol seadanya. Ternyata kita satu kampus beda fakultas!

***

Seminggu di kampus memang sudah membuat muntah darah. Tugas, laporan praktikum, diskusi kelompok, dll itu penyebabnya. Aku butuh refreshing. Ya maklumlah mahasiswa kere mainnya pasti di sekre tercinta sambil gigitaran, babakaran, ngobrol, online atau bantu satpam sampai pagi buta tiba ikut membantu keamanan kampus.

To be continued... [sedang stuck]

No comments:

Post a Comment

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.