Surat Cinta Untuk Kakak
Ting..Tong…Suara bel rumah berbunyi. Irma langsung saja berlari dari kamarnya untuk membuka pintu, ”Kakak..., kakak sudah pulang..” . Saat itu waktu menunjukan tepat pukul 20.00 WIB. Radit adalah seorang Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Ia termasuk anak yang cerdas dan sangat aktif terlibat dalam organisasi yang bernama BEM. Saat ini Radit tengah menginjak semester 8 dan ia berencana untuk menyelesaikan studinya tahun ini jika tidak ada halangan. ”Irma, Kakak pulang..”. Radit langsung menyambut adiknya dan segera menyalami ibunya. ”Bu, radit pulang. Maaf lagi – lagi radit pulang malam”. ”radit sudah makan? Makan dulu ya tadi Ibu sudah masak sup kesukaanmu, ayo lekas ganti baju dan langsung makan ya”.
Begitulah Ibu. Selalu setia menunggu anaknya pulang dari aktivitasnya. Raditya adalah kakakku. Kakak kebanggaanku.Pernah suatu ketika jam 11 malam kakak baru pulang karena menyelasaikan permasalahan OSPEK di fakultasnya terlebih dahulu. Setibanya ia di rumah kakak kaget melihat ibu masih terjaga di depan tv, dan ibu seperti biasa menanyakan keadaan terlbih dahulu. Lelahkah ia dengan aktivitasnya? Bisakah ia untuk membagi waktu antara aktivitasnya dengan hak dirinya untuk beristirahat? Ibu sangat khawatir kakak jatuh sakit karena kesibukannya. Karena tepat setahun yang lalu kakak pernah terserang penyakit thypus yang mengharuskannya untuk istirahat total selama 2 bulan. Dan selama itu bisa dikatakan, sebenarnya yang paling merasa sakit adalah Ibu. Karena selama itulah justru ibu tidak pernah tidur dengan nyenyak. Ia tidur larut untuk memastikan kakak telah tidur dan bangun di pertigaan malam untuk bermunajat kepadaNya memohon kesembuhan anak tercintanya sampai tiba waktu subuh dan mulai lagi beraktivitas. Ibu sangat teliti merawat kakak sehingga setelah 2 bulan kakak sudah dinyatakan benar – benar sehat. Ibu benar – benar tersenyum saat itu dan sepertinya ibulah yang paling merasa sehat. Ibu..., kami sayang ibu...
Suatu malam ketika kami sedang berkumpul di ruang keluarga sambil menonton tv kakak berkata kepada ibu untuk meminta izin mengikuti aksi menentang kebijakan pemerintah yang sangat tidak berpihak pada rakyat. Aksi ini diikuti oleh BEM se-Indonesia dan akan dilakukan di Jakarta di depan gedung MPR Jakarta. Kakak cukup sering mengikuti aksi pergerakan mahasiswa, baik itu di Bandung ataupun di Jakarta. Dan ia termasuk anak yang tidak suka melaukan aksi dengan cara kekerasan seperti membakar ban untuk menarik perhatian atau merusak pagar, kaca, dan gedung. Hal itu baginya adalah tindakan yang tidak memperlihatkan inteluaktual sebagai seorang mahasiswa. Berjuang untuk memperjuangkan hak rakyat tetapi dalam realisasinya malah menghancurkan pagar, kaca, gedung yang notabene berasal jua dari uang rakyat. Ia lebih senang aksi dengan mengandalkan kekuatan massa bukannya melakukan segala cara agar aksi ini disorot!. Setelah mendengar penjelasan kakak tentang latar belakang aksi itu, ibu akhirnya mengijinkan Kakak pergi ikut aksi tersebut, dan menyuruhnya untuk segera tidur agar besok kondisinya benar – benar fit. Keesokan harinya, dini hari kakak pergi ke Jakarta bersama dengan teman – temannya.
Kring...Kring..., telepon; di rumah berdering dan ibu mengangkatnya. ”Benar ini rumah Raditya?”. ”Ya, benar. Saya ibunya Radit, ada yang bisa dibantu nak?”. Hening, suara disana tiba – tiba diam. ”nak, mencari Radit? Saat ini Radit sedang pergi dan mungkin pulangnya malam. Ada yang ingin disampaikan?”, sambut ibu. ”Bu, saya temannya Radit”. ”Oh temannya Radit, ada pesan?”. ”Begini bu, saya ingin mengabarkan sesuatu”. ”Oh ya, ada apa nak?”. ”Radit,... Radit hari ini mengikuti demonstrasi di Jakarta.., dan...”. ”dan apa? Ada apa? Ayo ceritakan? Radit baik – baik saja kan? Dia tidak apa – apa kan?”. ”Bu, ibu sabar ya.., Radit.. Radit terkena peluru nyasar dan segera dilarikan ke rumah sakit. Saat ini Radit dirawat di RSPP jakarta. Ibu bisa segera kemari? Insya Allah akan ada seorang teman Radit yang akan ke rumah untuk menjemput ibu dan Irma adik radit”. Langit serasa runtuh, Ibu langsung jatuh terduduk tak mampu berkata apa – apa. Ini seperti mimpi. Baru tadi malam mereka bertiga berkumpul bersama bersenda gurau ceria. ”Bu..Ibu.., Ibu masih disana, Halo?”. suara di telepon menyadarkan Ibu. ”Iiiya nak.., baiklah jam berapa akan ada yang menjemput kesini? Ibu segera bersiap – siap, kebetulan Irmapun sudah pulang dari sekolah”. ”sebentar lagi Bu, mereka sedang dalam perjalanan”. ”baiklah naak, terima kasih”. Ibu segera memanggil Irma dan menyuruhnya untuk bersiap. ”kita mau kemana Bu? Nanti kalau kakak pulang kita tidak ada di rumah bagaimana? Kan kasihan kakak..”. ”Kita mau ke jakarta Irma.., kita mau melihat kakak.., ayo lekas ganti baju. Dan jangan lupa bawa juga beberapa baju ganti”. Begitulah ibu. Segala penderitaan dan kesakitan ingin ia sendiri yang menanggungnya, merasakannya. Ia tidak ingin anak – anaknya merasakan sakit yang ia rasakan. Ibu yang begitu berusaha untuk tegar dan tersenyum di depan anak- anaknya, tetapi walaubagaimanapun ia tetap seorang wanita yang begitu lembut dan halus perasaannya. Entahlah apa aku bisa begitu kuat seperti Ibu...
”Bu, kita sudah sampai”. ”ah ya, terima kasih. Irma ayo!”. ”ibu..inikan rumah sakit.., mau apa kita kesini, Irma tidak suka bau rumah sakit..”. ”Irma, kak Radit sakit, jadi kita harus menengoknya”, jelas ibu. ”Kak radit? Kak radit sakit apa? Ayo – ayo kita segera tengok kakak, dia pasti kesepian”. ”iya, tapi Irma tidak boleh ribut ya!”
Tenyata Radit dirawat di ruang ICU dengan segala peralatan rumah sakit untuk membantunya. Radit koma. Ibu segera memeluk Radit dan mengelus rambutnya. Irma duduk disampingnya. Ibu menangis melihat kondisi Radit dan Irma melihat ibu menagis ia pun ikut menangis. Irma lalu dibawa keluar kamar oleh teman Radit, diajak pergi ke kantin untuk beli minuman.
Ibu tinggal di kamar. ”Radit, kamu menunggu ibu ya? Ini Ibu datang nak.., radit sakit? Radit sakit ya? Pasti sakit sekali ya... Radit..”, ibu menungkupkan wajahnya di sebelah radit sambil mengenggam tangan radit. ”Maafkan Ibu tidak bisa menggantikanmu menanggung rasa sakit itu, maafkan ibu.. kuatlahlah nak.. Ingat janji Allah, Syurga balasannya.., sabar ya..”. ketika ibu mengangkat kepalanya ia melihat Radit mengeluarkan air mata, tetapi matanya tetap terpejam. Saat itu seolah ibu tersadar dan sambil terisak ia berkata,”Radit.., naak.., ibu berdoa. Kelak ibu ingin keluarga ini dipersatukan kembali. Kita berkumpul bersama dalam keabadian. Kita tertawa bersama dan saling berbagi cerita. Menyaksikan keindahan yang sesungguhnya dalam kehidupan yaang sebenarnya. Karena sungguh cinta keluarga ini tidak akan pernah berakhir karena tidak ada akhir. Radit.., naak..”, ibu sangat terisak, ia tidak mampu melanjutkan kata - katanya. Teman - teman radit setia mendampingi ibu di dalam kamar itu dan ikut menangis menyaksikan kekuatan seorang ibu yang tiada tandingannya. ”Radit.., ibu ikhlas denganmu.., ibu ikhlas..Kaulah putra kebanggan ibu.., putra yang tidak pernah menyusahkan ibu.., putra yang sangat peduli pada....”.
Tuuutttttttt.......... mesin komputer di sebelah radit menunjukkan garis lurus. Teman – teman Radit terisak dan menundukkan kepalanya. Radit telah pergi dengan tenang, ia telah menyelesaikan amanahnya di dunia dan pergi ke kehidupan yang sebenarnya. Ibu menangis, ia melanjutkan kata – katanya, ” Pergilah naak.., tunggu kami ya! Biarkah hanya Allah yang tau bagaimana ibu sangat menyanyangimu.. kau telah menyelesaikan tugasmu dengan baik...Ibu bangga padamu”. Dokter yang telah dipanggil oleh teman Radit masuk dan melepas peralatan di tubuh Radit dan menungkupkan kain putih sampai pada wajah Radit.
Blakk... pintu tebuka. Irma masuk. ”Dokter!! Apa yang dokter lakukan! Kenapa wajah kakak saya ditutupi?!”, irma berteriak. ”ibu, kenapa Ibu diam saja!”. Irma berlari menghampiri Radit dan membuka kain itu, ”kakak.., kenapa orang – orang ”disini diam saja..”. Ibu memeluk Irma dan berkata,”Irma sayang.., Kakak sudah tenang..., kakak sudah pergi dengan tenang. Irma lihat wajah kakak? Lihat, wajahnya tersenyum dan bercahaya, ia sudah senang disana..”. Irma menangis, saat itu ia sadar bahwa kakaknya telah meninggal dunia. ”kak, kakak.., ibu bilang kakak pergi.. Ibu bohong kan.. Ayo jawab kak, ibu bohong kan.. kakak sedang bercanda..Irma tidak suka kakak bercanda keterlaluan seperti ini..ayo bangun kak.. Kejutkan mereka semua, sudah cukup bercandanya..ayo kak...”, Irma menangis. Ibu duduk di sebelah Irma. Semua yang ada disana tidak bisa menahan air mata yang memaksa untuk keluar. ”Kak, ayo marahi Irma karena Irma cengeng! Kakak tidak suka kan punya adik yang cengeng. Mana sapu tangan kakak yang selalu kakak berikan kalau Irma menangis. Kakak bohong. Kakak janji akan selalu menemani ibu dan Irma. Segera menyelesaikan kuliah untuk membantu ibu dan kuliah Irma nanti. Kak..bangun kak...”.
Hari itu juga jenasah kakak dibawa pulang ke bandung dan disemayamkan disana. Ya, sekarang kakak telah terkubur dengan tenang disana.
Saat itu saya belum mengerti makna semua ini, sampai suatu hari saya menemukan agenda kakak yang pada akhirnya memberikan penjelasan kepada saya dan membacanya bersama ibu. Disana ada tertulis sajak dari Taufik Ismail :
Empat syuhada berangkat pada suatu malam
Gerimis air mata tertahan di keesokan
Telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu sedan
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri
Mengukir reformasi karena jemu deformasi
Dengarkan saban hari langkah sahabat – sahabatmu beribu menderu – deru
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari dari bahu
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad 21
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian di Trisakti bahkan di seluruh negeri
Karena kalian berani mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan darah arteri sendiri
Merah putih yang setengah tiang ini
Merunduk di bawah garang matahari
Tak mampu mengibarkan diri karena angin lama bersembunyi
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama
Dan kalian bersih pahlawan dari dendam
Karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan (Taufik Ismail, 1998)
Tidak salah ibu sangat membanggakan Kakak. Kakak telah pergi sebagai syuhada yang berhak mendapatkan tempat terindah disana, di SyurgaNya dan dapat memberi syafaat kepada orang yang kakak pilih. Kak, irma pun ingin seperti Kakak. Tunggulah Ibu dan Irma.
Wahai para penguasa, berilah kami izin untuk lebih banyak terlibat, dan izinkan kami menata ulang taman Indonesia, biar kami buat kalian tersenyum sebelum senja tiba.
Bunda relakan darah juang kami...
Surat Cinta Untuk Kakak
-Irma-
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
baru kali ini saya membaca & terhanyut didalamnya. terima ksih
ReplyDeletebaru kali ini saya membaca & terhanyut didalamnya. terima ksih
ReplyDelete