novel pecinta alam 3

Pagi harinya; Diseberang rombongan anak kecil berPakaian rapih. Anak laki-laki mengenakan baju koko, yang perempuan rapat menutup auratnya dengan Pakaian muslimah. Bercanda riang berjalan menuju Mushola untuk belajar Iqro’ di TPA. Inilah anak-anak harapan bangsa. Bangsa yang sekarat tapi sulit untuk menghembuskan nafas terakhirnya. Persis kisah dalam sinetron tentang seorang yang tersiksa menghadapi ajal karena dosa masa lalunya. Inilah bangsa kita, tinggal menunggu ajal atau malaikat penolong yang bernama International Monetary Fund.

Traffict Light sudah berubah hijau, namun tidak ada aktifitas pergerakan didepan, semua kendaraan terdiam mengacuhkan. Pak Pengatur Lalu-lintas membentangkan kedua tangan, isyarat semua kendaraan harus berhenti. Sang Penguasa Siang tepat di ubun-ubun kepala, memanggang otak yang sudah penat.

Sialan! Hanya karena iring-iringan mobil dengan plat warna hijau bergambar bintang, semua kendaraan yang lain harus berhenti memberi jalan. Begitu tergesa-gesakah mereka, hingga sudah meluPakan budaya antri di jalan raya. Sudah hilangkah rasa cinta bangsa ini pada rakyatnya?

Petinggi militer berlalu, motor kembali melaju membelah jalan raya, segera merayakan rasa cinta dengan keluarga. Bercanda riang dengan Rinjani.

Memberikan waktu kebersamaan dengan Rinjani, dan yang paling penting recovery untuk persiapan nanti malam. Sebuah percumbuan indah dibawah mahligai cinta dengan pasangan halalku. Berselimut bersama, peluh desah menikmati kenikmatan bersama. Berbuah manis berpayung pahala indah dan nikmat tak terkira.

Diawali dengan kecupan-kecupan lembut nan mesra. Menemukan birahi, pelan-pelan mencapai puncak hasrat bersama. Bersatu dalam kehangatan tubuh yang berpeluh. Kenikmatan tiada terperih anugerah Sang Pencipta, berpayung Ijab Qobul dan do’a. Oh, alangkah indahnya percintaan dalam naungan pernikahan.

“Bapak, jajannya mana Bapak?”, dengan ejaan yang belum sempurna Rinjani berlari menyambutku yang baru saja tersadar dari lamunan. Kuraih Rinjani, menyerbu dengan ciuman di pipi yang lembut. Merasakan kemanjaan dan kelucuannya.
“Ini jajannya, tapi nggak boleh na….”
“Kal!”, jawab Rinjani sigap ditambah senyum riang khas yang selalu membuatku rindu. Tangan mungilnya meraih satu bungkus es cream coklat, turun dari dekapanku kemudian berlari memanggil ibunya.

“Mas, kok pulang lebih cepat ada apa? Ada apa di kantor?”, tanya istriku keheranan sambil meraih daypack yang selalu kubawa untuk kegiatan operasional kerja dilapangan.
“Nggak ada apa-apa kok, pengen pulang aja. Capek.”
“Ya udah, beli mie ayam aja ya? Soalnya tadi nggak masak.”jelaskan istriku.

Aku mengangguk pelan, isyarat setuju. Sambil menunggu mie ayam, kuraih remote televisi dan menyalakannya. Menonton acara kriminal Sergap yang tayang tiap jam setengah duabelas siang. Aku tertarik pada headline acara tentang seorang mantan calon Bupati yang menderita gangguan jiwa.

***

No comments:

Post a Comment

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.