Media Sosial atau Anti-Sosial?

Add caption
Beberapa tulisan memprediksi 2011 akan terjadi Ledakan Gelembung Sosial Media (Social Media Bubble Burst). Ada beberapa alasan mendasar yang memperkuat pernyataan tersebut diantaranya pertumbuhan pengguna layanan sosial media yang begitu masif.

Indonesia sebagai pengakses internet terbesar di Asia Tenggara juga merupakan pengguna layanan Sosial Media yang besar di dunia. Ada beberapa sebab yang mendukung, seperti penetrasi internet baik yang fixed maupun mobile, jaringan telekomunikasi, dan ponsel terutama smartphone.

Facebook, layanan jejaring sosial terpopuler di dunia saat ini menyatakan bahwa sekitar 200 juta dari 500 juta (Nov, 2010) penggunanya menggunakan akses dari fasilitas mobile. Sedangkan Twitter, yang meraih juara Crunchies Award 2010 untuk kategori Startup/Produk Terbaik, menyatakan bahwa 80% persen pengakses layanan mereka adalah dari para pengguna mobile dari ponsel, baik dari situs mobile maupun aplikasi pihak ketiga. Bahkan penggunaan layanan sosial media dan internet telah menggusur penggunaan fitur utama ponsel yang dalam beberapa waktu lalu mengandalkan fitur push-mail seperti pada Blackberry.

Layanan sosial media tak dipungkiri membawa kontribusi positif dan atmosfir yang baik dalam pembangunan bangsa, karena fungsinya telah dimanfaatkan secara luas oleh berbagai kalangan, baik oleh media, perusahaan, pemerintah, dan lain sebagainya. Lalu, apakah media sosial menjadikan seseorang lebih sosial, atau sebaliknya anti-sosial?

Professor Sherry Turkle, mengemukakan pendapatnya bahwa layanan sosial media (sering disamakan arti dengan Jejaring Sosial) berpotensi menjadikan orang anti sosial, karena membuat seseorang manusia terisolasi dan tidak manusiawi. Dia berargumen bahwa teknologi telah mengisolasi manusia dengan dunia nyata. Ini diperkuat dalam sebuah tulisan lain yang menegaskan argumen tersebut, bahwa layanan sosial media telah berimbas pada perubahan pola komunikasi (dari dunia nyata ke dunia maya), bahasa yang disingkat (kita tahu bahwa beberapa layanan sosial media membatasi karakter), dan hilangnya batas antara kehidupan nyata dengan dunia maya yang menyebabkan pengguna lebih memprioritaskan kehidupan online dan menarik diri dari kehidupan primernya.

Sosial media dalam beberapa hal telah merubah kebiasaan pengguna internet di dunia maya, seperti menggantikan fitur search, akses informasi dari media cetak ke media online, dan pertemanan di dunia nyata. Tapi apakah sosial media (dan jejaring sosial) menjadi bentuk pertemanan yang efektif? Beberapa data tentang twitter misalnya, membuktikan bahwa 71 %, atau 7 dari 10 twit itu ternyata diabaikan, hanya 6 % yang di retwit, 23 % mendapatkan balasan (reply) dan mayoritas pada status yang diupdate pada 1 jam pertama, sehingga semakin banyak teman dalam sosial media/jejaring sosial semakin menunjukkan tidak efektif.

Dengan mengambil satu contoh diatas, artinya tidak semua pengguna melakukan hubungan komunikasi dua arah dan berinteraksi, jadi tak ubahnya seperti Anda berbicara pada dinding. Dari segi komunikasi, ada sebuah perbedaan antara komunikasi verbal dan non-verbal. Komunikasi di dunia nyata yang kadang bisa “diwakilkan” dalam bentuk bahasa tubuh, ini tidak ada dalam media teks. Sebagai manusia, kita memiliki emosi, baik positif maupun negatif, dan dalam bahasa tulisan, emosi ini tidak mampu diwakilkan meskipun dengan emoticons sekalipun. Setiap orang juga akan memiliki persepsi berbeda dalam menangkap emosi penulis yang terbatasi dalam karakter dan tidak menutup kemungkinan, bahwa orang lain membutuhkan waktu untuk mencerna maksud dan tujuan yang ingin disampaikan. Bahkan ada pernyataan bahwa komunikasi online atau teks, akan merusak cara bahasa oral/non-verbal dan tata bahasa yang baik dan benar. Sementara itu, dalam sebuah studi lain dinyatakan bahwa menulis tulisan tangan memiliki dampak yang lebih baik dibanding dengan yang menggunakan komputer.

Pernah lihat film “Wall-E”? Sebuah film yang menceritakan tentang robot pendaur-ulang sampah. Dalam ceritanya manusia menjadi sangat ter-digitalkan. Semua layanan berbasis digital, sehingga menyebabkan manusia untuk malas untuk melakukan apapun, bahkan berinteraksi dengan lainnya. Teknologi memang menghadirkan sesuatu yang jauh menjadi terasa dekat, sesuatu yang virtual serasa riil. Namun sadarkah Anda jika teknologi membuat yang dekat menjadi jauh? Semua sibuk dengan perangkat digital/gadget-nya, acuh terhadap lingkungan, kelihatannya jalan bareng pacar namun konsentrasi ada di ponsel, percakapan antar anggota keluarga bahkan pindah ke melalui layanan sosial media. Orang-orang juga cenderung untuk update status dulu misalnya, sebelum melakukan aktivitas riil.

Idealnya sosial media dapat menambah fungsi dan peran dalam kehidupan nyata, misal pertemanan yang dibatasi oleh ruang dan waktu diatasi melalui media ini, namun tanpa melupakan pertemanan dan relasi di dunia nyata. Jangan menjadikan sosial media sebagai substitusi kehidupan primer, atau bahkan kehidupan sekunder (2nd life).

Penggunaan layanan sosial media yang berlebihan dan berdampak negatif tak ubahnya memiliki perilaku Internet Addiction Disorder (IAD) atau gangguan kecanduan internet yang ditandai dengan gejala umum seperti, lebih banyak waktu yang dihabiskan di internet, ada kecemasan dan gejala penarikan diri jika tidak menggunakan internet, mengganggu hubungan sosial di dunia nyata dan lain sebagainya.

Kapan sosial media benar-benar menjadi media sosial atau anti-sosial. Menurut saya semua kembali pada diri kita masing-masing, hanya kita yang bisa menghitung proporsionalitas tersebut. Silahkan hitung waktu anda di sosial media dibandingkan pertemanan di dunia nyata. Sekian.
 

1 comment:

  1. Rekomendasi untuk kesehatan tubuh kak

    https://www.zonasolo.com/2023/07/5-manfaat-jus-bawang-tunggal-untuk-kesehatan.html

    ReplyDelete

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.