Catatan Kelabu Gunung Cijambu 4


Perjalanan Mencari Cinta
            Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.
Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.
Menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup. Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa cinta dan kasih sayangnya. Cinta, adalah satu kata seribu makna yang terkandung.
Hari ini perjalanan kembali dilanjutkan menuju bukit 1695 mdpl (Meter Di atas Permukaan Laut); bukit yang merupakan punggungan antara Gunung Cijambu, Sumedang – Jawa Barat yang merupakan jalur Diklat Caldera yang sudah hampir 6-7 tahun melewati daerah tersebut. Awal perjalanan akan melewati Sungai Cibogo yang ditempuh sekitar 20-30 menit menuju titik awal pendakian. Kali ini tim terdiri dari empat orang panitia dan empat orang siswa dan seorang banmed, sisanya tetap tinggal di Pos dua.
Packing-sarapan-pemanasan dan bismillah berangkat menuju bukit 1695, dengan terseok-seok melewati Sungai Cibogo, ada yang terpeleset, ada yang kecebur, sedikit basah-basahan. Selama perjalanan diisi dengan materi navigasi tertutup; mungkin sebagian besar anggota Pecinta Alam akan mengetahuinya, tapi sedikit saya kasih gambaran secara umum. Navigasi darat tertutup biasanya unik dan sang navigator tidak bisa melihat titik ekstrim berupa puncak gunung/bukit pada peta untuk melakukan metode resections atau intersections, tapi yang tersedia adalah kelokan sungai dan percabangan arah masuk sungai yang menjadi patokan, dan selama perjalanan di Sungai tim akan menemukan dua percabangan Sungai yang masuk ke Sungai utama yaitu Cibogo. Medan yang tersaji pada Sungai Cibogo adalah bersifat basah, licin, kedalaman paling tinggi antara lutut dan paha atas, dengan kanan dan kiri sungai adalah tebing curam dan tinggi, dan kalian juga pasti tahu sebagai seorang PA, sungai biasanya terdapat pada lembahan tidak mungkin sungai ada di punggungan atau puncak gunung.
Terseok-seok diantara jeram Sungai Cibogo; masih ingat dalam pikiranku kala itu memegang tangan sang bidadari 1695 saat menuruni tebing batu besar sekitar dua meter tingginya. Sungguh lembut tangannya kupegang kala itu, karena dalam keadaan mendesak walaupun bukan makhrom tidak apalah, walau berat menerimanya tapi dalam hati bertanya akankah ini yang namanya cinta? Tersentak diriku dan mulai perjalanan kembali. Percabangan pertama Sungai Cibogo diawali dengan manis, selanjutnya percabangan kedua akankah dilewati dengan mulus? Ya memang benar saja, Sungai Cibogo memang memberi arti akan cinta dan kasih sayang, kala itu kulirik punggungnya dengan tas daypack eiger medik berwarna merah maroon. Dia tepat dibelakang siswa persis dan diriku paling belakang bersama rekan-rekan kala itu, dengan komposisi barisan sang danlap (Fardan) paling depan memimpin perjalanan, empat orang siswa, banmed (red: Anjani), teh Ndil, Yangqi, dan saya sendiri.
Titik awal navigasi tertutup sudah dicapai, semua orang mengisi persediaan air dengan kompan, kali ini saya membawa dua buah kompan dengan jumlah berisi sepuluh liter. Sambil mengisi akupun masih sempatnya mencuri pandangan dengan bidadari 1695 dan sialnya dia sempat memergoki ku melihatnya dari sisi sempit sungai, dan dia tersenyum manis. Aksiku ternyata dilihat oleh salah satu rekanku yang tertawa cekikikan disebrang sana “dan benih-benih cinta mulai tumbuh” Kacau !!!
***

Misteri AlamNya
            Perjalanan darat menuju puncak bukit 1695 mungkin menjadi awal perjalanan terberat, di samping membawa air guna kebutuhan dipuncak selama 16-17 jam, ditambah dengan kondisi celana dan sepatu yang basah sudah menjadi hal yang lumrah, dan untungnya cuaca hari ini begitu bersahabat tidak ada hujan sama sekali. Perjalanan dilakukan dengan membuka jalan atau dalam arti lain menembak lurus dengan bantuan kompas bidik dengan derajat kompas sekitar 35 derajat azimuth atau 215 derajat back azimuth. Salah satu panitia Yangqi saya koordinasikan untuk mencapai puncak terlebih dahulu. Sedangkan sisanya tetap memantau siswa melakukan pembukaan jalur dengan proses tembak menembak dengan menggunakan kompas bidik, jam sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB, yang berarti sudah hampir 3 jam siswa membuka jalan. Ada perasaan tidak enak meninggapiku kala itu, Yangqi sudah tidak terdengar suara-suara, dan sayapun berkoordinasi dengan sang danlap agar tetap seperti ini, dan saya mencoba menyusul Yangqi bila ada sesuatu diatas sana, karena perasaan saya tidak enak.
            Setelah mendaki dan berjalan dengan peluh kesah dan agak sedikit mencekam, walaupun kala itu siang bolong, tapi karena rapatnya kanopi vegetasi pohon menjadi agak gelap dan remang-remang karena cahaya matahari tidak dapat menembus secara sempurna. Setelah ku panggil-panggil ternyata si Yangqi sedang ketakutan, wajah basah dengan keringat, tangan gemetaran, dia duduk diatas pohon roboh.
Saya    : “hei, kenapa? Ada apa?
              “jawab Yangqi? Ada apa? bangun hei!!”
Yangqi : “eee…itu kang a da…a da…” (terbata-bata dia menjawab)
Saya    : “ada apa? Jawaaab!!” (dengan nada agak keras saya mencoba)
              (sambil kulihat sekeliling daerah tersebut)
              (mendesir…brsssss..ss, bau apa ini)
Saya    : (ku keluarkan botol air minumku, sambil ku lepas cariel dari badanku, dan mengambil tramontina yang tergeletak disamping tangan Yangqi). “minum dulu, tenangkan hati dan pikiran, ambil nafas panjang” (hanya itu yang bisa ku perbuat)
              (Sambil melihat sekitar lokasi, kembali angin kembali berhembus brrrss…sss..ss)
              (dalam hati, bau yang sama, amis)
Yangqi : “kang terimakasih air minumnya”
Saya    : “ada apa yang?” (untuk ketiga kalinya bau itu muncul, brrrssss…sss..sss..ss, kali ini lebih nyata dan jelas)
              (ku genggam erat tramontina, takut ada apa, dengan mata tetap fokus dan awas)
Yangqi : “kang, tadi ada bau amis” (dengan muka yang memelas)
Saya    : “udah fokus aja, minum yang banyak, tarik nafas yang dalam, pikir yang jernih”
              “ada permen gk?
Yangqi : “ada kang”
Saya    : “ambil dua”
              (tanpa banyak bicara saya dan yangqi tetep berdiam diri sampai anak-anak yang dibawah sampai dititik ini dan Alhamdulillah adanya stringline berarti bahwa saya dan Yangqi tidak nyasar)
              (tanpa nada tanpa suara kita berdua berdiam saja)
gmana kisah selanjutnya, bagaimana kisah bidadari 1695?
tunggu tanggal mainnya di catatan kelabu gunung cijambu ke 5

1 comment:

  1. Anonymous2/12/2012

    pengen liat ending tentang Anjani, he he he

    ReplyDelete

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.