Penggalan Pertama: The Produk Gagal
Empat puluh lima derajat di atas cakrawala, matahari melukis panjang bayang-bayang benda sama dengan panjang benda itu sendiri. Sinarnya menari-nari di sela pepohonan yang sudah kering karena kemarau. Semarak bendera dan umbul-umbul bernuansa merah putih, menandakan perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia telah tiba. Aktualisasi dari paham yang masih abstrak: nasionalisme.
Seperti hari-hari yang lain, bergelut dengan rutinitas kewajiban sebagai seorang suami dari istri yang cantik Ida Kurniawati dan ayah dari putri yang juga cantik Sylva Rinjani Masrura: mencari sesuap nasi segenggam intan. Di dalam ruangan empat kali tiga, Central Processing Unit yang bertumpuk-tumpuk belum selesai kukerjakan. Di sudut berderet-deret pasien handphone juga nampak sudah berdebu menunggu giliran. Melekat di dinding yang telah kusam, Mas Bob Marley nikmat menghisap cannabis sativa. Menatap kosong ke depan, mencumbu pemandangan khas jalan raya. Sepeda, motor, mobil dan pejalan kaki yang hilir mudik.
Dari utara beriringan petani-petani dengan sepedanya membawa bertumpuk-tumpuk damen, menandakan kerinduan tiga bulan sekali para petani terhadap hasil panen telah terbayar. Walau hanya menghasilkan sedikit dari kerasnya usaha mereka. Terjepit diantara harga pupuk yang melambung, minyak tanah yang semakin mahal serta sulit didapat dan rengekan anak-anaknya minta dibelikan sepatu baru untuk masuk ke sekolahnya yang baru.
Diseberang rombongan anak kecil berpakaian rapih. Anak laki-laki mengenakan baju koko, yang perempuan rapat menutup auratnya dengan pakaian muslimah. Bercanda riang berjalan menuju mushola untuk belajar Iqro’. Inilah anak-anak harapan bangsa. Bangsa yang sekarat tapi sulit untuk menghembuskan nafas terakhirnya. Persis kisah dalam sinetron tentang seorang yang tersiksa menghadapi ajal karena dosa masa lalunya. Inilah bangsa kita, tinggal menunggu ajal atau malaikat penolong yang bernama International Monetary Fund.
Kulanjutkan pekerjaan, memasang komponen Integrated Circuit Power Amplifier handphone sejuta umat Nokia 3310 yang bermasalah pada sinyal transmitter. Membersihkan PCB, menempatkan IC PA pada posisi yang tepat, sedikit lumuri dengan flux. Tiga sentimeter di atas komponen, solder uap Gordak 850-B-ku siap bekerja. Menghembuskan angin panas bersuhu 500 derajat Celcius, melelehkan timah kaki-kaki IC PA agar bisa menempel pada papan induk komponen. Kurakit kembali satu persatu spare part, waktunya uji coba. Switch on-off kutekan, lima detik kutunggu akhirnya muncul logo operator XL, disusul indikator sinyal yang merangkak naik sebanyak tiga tangga.
“Selamat datang di layanan isi ulang XL, welcome to XL reload service, …….” Kalimat itu begitu merdu kudengarkan dari mulut mbak-mbak yang belum pernah kukenal, setelah keypad handphone kutekan angka 1 2 3 kemudian tombol call. Namun bagiku itu adalah isarat keberhasilan. Finishing kutulis 45000 pada label harga, kutempel di cashing handphone Nokia 3310. Cukuplah itu untuk ongkos pekerjaanku tadi. Menarik nafas, menyalakan rokok, memandangi satu persatu pasienku. Terhenti pada Nokia 7610, kunyalakan, kutunggu berapa menit hanya tulisan NOKIA yang muncul, tidak pernah sampai pada gambar animasi dua tangan yang saling bersalaman. Cukup proses flashing software menggunakan UFS 3 Tornado, si ketupat ini sudah normal lagi.
Istitahat sebentar. Komputer masih dipakai nge-game sepupuku Hasyim Nizar. Seorang sarjana pertanian lulusan Universitas Jember yang sekarang bekerja sebagai Petugas Penyuluh Lapangan Departemen Pertanian. Tapi setiap hari hanya nongkrong di warung kopi sebelah kantornya. Berseragam dan masih dalam jam kerja. Setelah menyelesaikan hajat absensi di kantornya, sepupuku langsung menuju kesini. Duduk di depan monitor komputer, menjalankan game Street Racing Syndicate, sebuah game balap mobil buatan NAMCO Corporation.
“Dan, punya rokok nggak?”. Datang anggota komunitasku yang lain. Antony namanya, seorang mahasiswa Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri yang sudah delapan semester kuliah, tapi masih lima belas mata kuliah yang belum beres, kandidat penyandang gelar MAPALA (Mahasiswa Paling Lama). Jika kalian berkunjung ke kampus, cukup datang ke UKM Seni Budaya pasti bersua. Mudah mengenalinya, penglihatan mewakili otak yang sudah karatan termakan korosi bangku kuliah.
“Beli dulu di warung depan, setengah bungkus saja, uang ambil di laci!”
Dengan sigap nan cekatan, Antony cepat merespon perintahku tadi. Dari sikapnya terbersit perkataan, “Siap Pak!”
Belum sempat Antony melaksanakan tugas, dari selatan terdengar suara meraung-raung yang akrab di pendengaran kami. Sukadi dan scooternya. Scooter merk Vespa tipe Sprint keluaran tahun 1974, jauh lebih tua dari pemiliknya. Body sudah berwarna coklat kusam dan keropos disana-sini. Dimodifikasi dengan kereta samping dan setang monyet. Tahu kenapa setang monyet? Karena kalau mengendarainya sejauh sepuluh kilometer saja, tangan tidak bisa diturunkan karena kram otot, seperti monyet yang sedang bergelantungan. Tapi ditangannya, kendaraan itu pernah merambah Pulau Jawa selama sebulan. Bermodal dua ratus ribu rupiah, dan nomor telepon scooterist yang tersebar di pulau Jawa. Tak ketinggalan satu jerigen minuman tradisional hasil fermentasi nira, yang kadar alkoholnya tidak tercatat karena sulit untuk diukur. Pastinya jauh di atas minuman khas Mexico: Tequila.
Raungan scooter berhenti tepat di depan outlet. Duduk di kereta samping, Yudhis bocah kelas tiga Madrasah Tsanawiyah, adik Antony kandidat MAPALA. Kalau kakaknya pusing karena kuliah belum beres, Yudhis pusing mengakali bapaknya agar mau membelikan memory card. Alasan, memory card berkapasitas 128 megabyte yang sekarang terpasang tidak cukup untuk ¬-mengunduh file mp3 dan 3gp. Berbagai cara dicoba, tidak ada satupun yang membuahkan hasil. Akhirnya diambillah jalan terakhir, ngambek tidak masuk sekolah selama dua minggu. Jurus inipun ampuh, karena bapaknya yang pensiunan penghulu akhirnya luluh. Meng-acc permintaan Yudhis, memory card berkapasitas 512 megabyte. Bagi bapak Yudhis ancaman tidak sekolah adalah pertanda putusnya klan penghulu atau setidaknya petugas pencatat pernikahan di kampung.
“Ada anak yang tenggelam di sungai. Pada mau lihat nggak?”, teriak Sukadi tanpa turun dari scooter.
“Cepetan!”
Bergegas Hasyim Nizar dan Antony berangkat, mengikuti ajakan Sukadi yang berteriak melolong-lolong, menghardik, menendang Yudhis agar bergeser memberi tempat kosong di kereta samping scooter. Karena paling muda, Yudhis selalu menjadi objek tindakan kolonialisme kami. Mendapat tamparan, tendangan adalah hal yang biasa bagi Yudhis. Bagi kami Yudhis adalah lahan pelampiasan ketidak warasan kami terhadap hak azasi manusia. Karena satu alasan, “Senior selalu benar!”
Scooter menyalak lagi, membuat lonjakan drastis grafik polusi suara di sekitar kami. Sebelum naik jok kereta samping scooter, Antony masih konsisten melaksanakan tugas yang aku perintahkan tadi. Tapi tetap salah sasaran, rokok yang sedianya buat persediaan, di bawanya sambil cengengesan seperti anggota DPR yang ketangkap KPK.
Berangkatlah mereka, rombongan The Produk Gagal. Sebuah komunitas usaha komunikatif, kreatif, inovatif dan produktif. Tercermin dari ¬bentuk tulisan Sarank di pintu depan, yang membentuk sayap kupu-kupu mirip lambang grup band anti kemapanan: Slank Yang melayani segala macam bentuk usaha selain usaha utama outlet service handphone dan komputer. Seperti yang tertulis pada banner depan outlet.
“Melayani: Jual beli handphone & komputer, service, pengetikan, foto penganten, angkutan air mineral, ojek, bengkel motor, wedding planner, event organizer, biro jodoh, les privat, joki SPMB, penggandaan VCD, pembajakan software, manipulasi foto, konsultasi skripsi, orkes melayu….”. Semua usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak kami cantumkan di situ. Seperti motto kami, komunikatif: selalu berusaha meyediakan pelayanan yang memuaskan bagi konsumen, kreatif: pandai membaca peluang, inovatif: menciptakan kreasi-kreasi unik agar diterima pasar dan yang paling penting adalah produktif: harus untung!
Sepeninggal mereka, kembali kulanjutkan pekerjaan. Aku tidak begitu tertarik dengan ajakan Sukadi. Selain outlet tidak ada yang jaga, aku harus mencapai targetku hari ini, membelikan drum mainan untuk Rinjani. Sejak kamarin Rinjani merengek-rengek minta drum mainan setelah nonton anak-anak SMA yang latihan Drum Band ¬untuk persiapan karnaval Agustusan.
Muhammad Ardani Ardia Masrura
No comments:
Post a Comment
Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.