Penggalan Kedua: AMS Map SHEET 5219-II, 41952940

“Siapa yang tenggelam Zar?”, tanyaku pada Hasyim Nizar.
“Anak-anak Pramuka Madrasah Tsanawiyah. Tau tuh pembinanya, masa ngadain kegiatan di sungai gak ada persiapan sama sekali. Kasih life guard atau paling nggak ban untuk pelampung, pasti nggak akan sampai kejadian kayak gini.”
“Nggak memenuhi Safety Procedure Operation!”, jawab Hasyim Nizar sekenanya.
“Tapi itu jadi lahan operasi kita lagi. Tambah divisi usaha The Produk Gagal. Search and Rescue!”, timpal Antony sambil cengengesan lagi menghabiskan sisa rokok.
“Jangan SAR, tapi pembinanya pembina Pramuka. Biar mereka tahu apa itu Safety Procedure. Biar nggak asal melaksanakan kegiatan.”, sanggah Hasyim Nizar berlagak seperti mahasiswa yang memprotes kebijakan rektorat.
Aku terdiam lagi, melihat Sukadi yang tak peduli dengan terjadinya debat kusir antara Hasyim Nizar dan Antony. Sukadi sibuk mengutak-atik sling kopling scooternya yang kendor. Sementara Yudhis tidak kelihatan ingusnya dari tadi. Mungkin Yudhis terdampar di sungai, melihat orang yang melihat tenggelamnya anak-anak Pramuka Madrasah Tsanawiyah.
Menyiapkan peralatan menuju Tempat Kejadian Perkara, sebuah kelokan sungai tepat dibelakang Madrasah Tsanawiyah. Menggunakan sepeda motor aku segera bergegas. Sepeda motor yang baru saja lulus dari tagihan bulanan, sebuah bukti hasil usaha selama tiga tahun.
Perangkat penegak hukum tampak sibuk mengumpulkan data tentang kejadian tadi. Para Kakak Pembina Pramuka dan senior tertunduk lesu di pinggiran sungai. Memandang kosong, pasrah mengeja satu-persatu peristiwa yang sebenarnya terjadi. Di bawah rimbunan pohon bambu, orang-orang bergerombol mengelilingi seorang berpakain serba hitam yang terus berbicara tapi tak sedetikpun satu batang rokok klobot lepas dari mulutnya. Berbicara, menghisap rokok dan menghembuskan asap, sebuah kombinasi keahlian yang sangat langka. Mbah Sarip, itulah namanya. Seorang dukun yang terkenal sakti di daerah kami.
“Sungai ini masih wingit, harus berhati-hati kalau melewati daerah ini. Paling tidak harus uluk salam, karena kita memasuki wilayah kekuasaan makhluk lain. Kalian masih ingat dua tahun yang lalu, anak MTs juga yang tenggelam. Artinya tahun ini sungai ini minta jatah lagi, karena kita tidak lagi menghormatinya. MTs harus mengadakan ruwatan agar peristiwa ini tidak terulang lagi.”
Tidak meng-iya-kan juga tidak menyangkal perkataan Mbah Sarip. Aku menganggap itu adalah sebagian kekayaan kebudayaan bangsa. Animisme dan dinamisme tidak bisa terpisahkan dari kepercayaan sebagian besar masyarakat kita. Walaupun irrasional, tidak pernah aku mendebatnya. Karena jika sekali-kali aku menyangkalnya, aku dianggap sebagai orang Jawa yang tidak njawani lagi,
Teringat dua tahun lalu. Ketika Djokjakarta dan sekitarnya dibuat porak poranda oleh gempa tektonik dengan magnitude sebesar 5,9 pada scala Richter. Gempa yang sering terjadi di daerah batas lempeng atau sesar, terutama daerah subduksi. Disebabkan oleh lempeng tektonik yang satu bergerak relatif terhadap lempeng tektonik lainnya. Pergerakan tersebut akan menimbulkan gaya-gaya stress yang berakibat terakumulasinya energi secara terus menerus. Pada saat gaya yang terakumulasi tersebut telah melampaui batas elastisitas, lapisan batuan didaerah tersebut tiba-tiba patah menimbulkan gelombang elastik yang tersebar ke segala arah.
Salah satu sebaran gelombang elastik itu sampai ke kampungku, sekitar dua ratus kilometer dari titik episenter. Seperti berada dalam wadah yang diguncang-guncang, itulah rasanya. Kaget, bingung dan kagum bercampur menjadi satu.
Belum sempat menormalisasi pikiran akibat gempa, kampungku dibuat geger dengan berita tenggelamnya anak MTs yang sedang berenang di sungai. TKP nya tepat di sini, ketika dua tahun kemudian adik kelasnya menyusul dalam perangkap penunggu sungai.
Namun sekarang kondisinya berbeda. Dua tahun yang lalu korban tenggelam karena berenang atas kehendaknya sendiri, sekarang korban tenggelam karena sedang mengikuti acara Pramuka dalam bimbingan Kakak Pembina di bawah tanggung jawab instansi yang bernama Madrasah Tsanawiyah. Tidak tanggung-tanggung, dua anak perempuan meninggal dalam insiden itu.
Peristiwa naas ini terjadi ketika empat anak Pramuka yang diperintah seniornya melintas sungai, dalam ritual kenaikan pangkat ala Pramuka. Kurang jelas kenapa empat anak tersebut tercebur ke sungai, dan tenggelam. Yang jelas tidak ada respon dari Kakak Pembina, entah panik atau memang tidak bisa berenang. Beruntung dua anak bisa selamat. Itupun bukan karena diselamatkan Kakak Pembina, tapi oleh orang yang kebetulan sedang memancing ikan di dekat TKP.
Sungai ini memang mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah. Baik itu sumber alam hayati maupun tambang. Berbagai jenis ikan, batu dan pasir bahan bangunan banyak ditemukan disini. Tapi itu cerita lama, sebab sekarang sungai ini tak lebih dari saluran buangan air hujan yang berasal dari pegunungan selatan daerah Wonogiri Jawa Tengah. Ikan-ikanpun langka, musnah akibat tangan-tangan serakah manusia yang menangkapnya menggunakan pestisida ataupun dynamite. Ketika kemarau, sungai tak lebih dari kubangan-kubangan air. Para penambang pasirlah yang membuat kubangan air itu menjadi lebih dalam sehingga bisa menenggelamkan orang.
Tapi jangan tanya ketika hujan sudah mengguyur. Apalagi bila hujan itu terjadi di daerah hulu dengan intensitas yang sangat besar, maka sungai ini bisa menenggelamkan kota Ponorogo. Seperti yang terjadi tanggal 26 Desember 2007 kemarin. Hujan yang mengguyur seharian penuh, menyulap Ponorogo menjadi lautan. Selama tiga hari yang terlihat hanya banjir. Sebelum akhirnya banjir itu surut, mengalir ke arah utara menenggelamkan sebagaian Madiun kemudian Ngawi. Yang akhirnya anak sungai ini bertemu dengan induknya Bengawan Solo yang sama juga sedang murka. Mengalir merayap menuju Bojonegoro dan banjir berakhir di Tuban. Mengakhiri kisah bencana penutup tahun di Laut Jawa.
Penyelidikan kulanjutkan, tapi sudah tidak kondusif karena TKP sudah crowded. Terlalu banyak orang, terlalu banyak kepentingan dan terlalu banyak pikiran. Akhirnya kupisahkan diriku dari kekacauan yang terjadi, menyepi agak jauh dari TKP. Tempat di mana orang-orang tidak memperhatikan kegiatanku. Kubuka sebuah lembaran kertas yang selalu tersimpan dalam tas kecil Eiger. Sebuah pensil dan protaktor membantuku membuat titik di atas lembaran kertas tadi. Ketemu! AMS Map SHEET 5219-II, 41952940.
Melihat lengkukan garis-garis kontur yang tak terputus, kelokan-kelokan sungai, puncak-puncak gunung dan lembah meloncatkan ingatanku pada satu tempat nun jauh di barat: Jatinangor. Bekas pos satpam yang kami sulap menjadi tempat bernaung kumpulan orang-orang yang sudah tidak waras. Orang-orang yang mengabdikan diri untuk mendaki gunung, memanjat tebing, mengarungi jeram atau sekadar berjelaga dalam lingkaran api unggun. Tempat di mana aku belajar menentukan koordinat dalam peta topografi, seperti yang kulakukan barusan. Tempat itu bernama Kelompok Penempuh dan Pencinta Alam Caldera FMIPA Unpad.
Tersentak, teringat perdebatan Hasyim Nizar dan Antony tentang divisi usaha baru The Produk Gagal. Bukan Search and Rescue ataupun pembinanya Pembina Pramuka. Tapi pemancing ikan!
Muhammad Ardani Ardia Masrura

No comments:

Post a Comment

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.