Penggalan Ketiga: It’s Love

Traffict Light sudah berubah hijau, namun tidak ada aktifitas pergerakan didepan, semua kendaraan terdiam mengacuhkan. Pak Pengatur Lalu-lintas membentangkan kedua tangan, isyarat semua kendaraan harus berhenti. Sang Penguasa Siang tepat di ubun-ubun kepala, memanggang otak yang sudah penat.
Sialan! Hanya karena iring-iringan mobil dengan plat warna hijau bergambar bintang, semua kendaraan yang lain harus berhenti memberi jalan. Begitu tergesa-gesakah mereka, hingga sudah melupakan budaya antri di jalan raya. Sudah hilangkah rasa cinta bangsa ini pada rakyatnya?
Petinggi militer berlalu, motor kembali melaju membelah jalan raya, segera merayakan rasa cinta dengan keluarga. Bercanda riang dengan Rinjani dan banyak kecupan untuk ibunya.
Kuambil cuti untuk hari ini. Sedikit merengganggkan otot dan syaraf, yang selalu bersitegang dengan waktu dan uang. Memberikan waktu kebersamaan dengan Rinjani, dan yang paling penting recovery untuk persiapan nanti malam. Sebuah percumbuan indah dibawah maghligai cinta dengan pasangan halalku.
Diawali dengan kecupan-kecupan lembut nan mesra. Menemukan birahi, pelan-pelan mencapai puncak hasrat bersama. Bersatu dalam kehangatan tubuh yang berpeluh. Kenikmatan tiada terperi anugerah Sang Pencipta, berpayung Ijab Qobul dan do’a. Oh, alangkah indahnya percintaan dalam naungan pernikahan.
“Bapak, jajannya mana bapak?”, dengan ejaan yang belum sempurna Rinjani berlari menyambutku yang baru saja tersadar dari lamunan. Kuraih Rinjani, menyerbu dengan ciuman di pipi yang lembut. Merasakan kemanjaan dan kelucuannya.
“Ini jajannya, tapi nggak boleh na….”
“Kal!”, jawab Rinjani sigap ditambah senyum riang khas yang selalu membuatku rindu. Tangan mungilnya meraih satu bungkus es cream coklat, turun dari dekapanku kemudian berlari memanggil ibunya.
“Mas, kok pulang lebih cepat ada apa? Apa tokonya sepi?”, tanya istriku keheranan sambil meraih daypack yang selalu kubawa untuk kegiatan operasional.
“Nggak ada apa-apa kok, pengen pulang aja. Capek.”
“Ya udah, beli mie ayam aja ya? Soalnya tadi nggak masak.”
Aku mengangguk pelan, isyarat setuju. Sambil menunggu mie ayam, kuraih remote televisi dan menyalakannya. Menonton acara kriminal Sergap yang tayang tiap jam setengah duabelas siang. Aku tertarik pada headline acara tentang seorang mantan calon Bupati yang menderita gangguan jiwa.
“Mantan calon Bupati Ponorogo Yuli Nursanto, kabur dari Rumah Sakit Umum Dr. Soedono dengan hanya mengenakan celana dalam. Diduga ia menderita gangguan jiwa karena terlilit hutang untuk dana kampanye pencalonannya menjadi Bupati Ponorogo.”, begitu penjelasan pembawa acara yang dilanjutkan dengan panampakan seorang yang berjalan-jalan hanya mengenakan celana dalam, diikuti beberapa Polisi. Saudaranya yang sempat diwawancara mengatakan bahwa sejak kalah dalam Pilkada, bisnis Yuli Nursanto pelan-pelan mulai gulung tikar. Ditambah perceraian dengan istrinya, membuat Yuli Nursanto menderita gangguan jiwa.
Sungguh tragis memang, Yuli Nursanto yang dulunya adalah raja bisnis transportasi,. pemilik salah satu stasiun radio dan rumah makan, sekarang menjadi seorang pecundang yang kehilangan segalanya. Yuli Nursanto yang dulunya berwibawa dihadapan massanya waktu kampanye Pilkada, sekarang tak lebih dari orang gila yang disingkirkan masyarakat.
Sebuah gambling yang berani oleh Yuli Nursanto tatkala mencalonkan dalam Pilkada Bupati Ponorogo. Tapi itulah manusia, selalu ingin mencapai puncak kebanggaan. Tidak pernah menggunakan akal sehat dalam meraih sesuatu, yang ada hanyalah prestise. Kalau saja Yuli Nursanto lebih mencintai Tuhan, dengan wujud berupa rasa syukur terhadap-Nya tentunya ia tidak akan menjadi orang yang dicampakkan. Karena pengejawantahan rasa syukur adalah tindakan rasional dalam memberi dan meraih sesuatu.
Acara Sergap berlanjut, sekarang berganti dengan kasus pembunuhan, perampokan kemudian tertangkapnya kurir ganja di perbatasan Aceh Sumatera Utara. Diselingi beberapa iklan, kasus-kasus kriminal kembali bergulir. Seperti menampakkan wajah jahiliyah bangsa kita. Kejahiliyan yang tercipta karena kemiskinan, kebodohan dan sudah langkanya rasa cinta serta kasih sayang.
Aku sudah mulai jengah dengan tayangan berita kriminial, ingin kuganti channel televisi dengan acara yang lebih menarik.
“Kembali di Ponorogo, dua anak Madrasah Tsanawiyah tewas tenggelam di sungai. Peristiwa ini terjadi ketika anak-anak kelas dua Madrasah Tsanawiyah sedang mengikuti kegiatan kepramukaan. Salah satu orang tua korban berkali-kali jatuh tak sadarkan diri mengetahui putri tunggalnya adalah korban peristiwa tersebut. Kasus ini sekarang ditangani Polres Ponorogo, karena diduga ada kelalain dari pihak penyelenggara kegiatan.”
Karena ulasan berita tadi kuurungkan niat untuk mengganti channel televisi. Begitu cepatnya teknologi informasi menayangkan berita dari sebuah sumber berita nun jauh di kampung terpencil. Sebuah prestasi bagi kotaku, karena hari ini telah menyumbangkan dua buah berita sekaligus di sebuah stasiun televisi swasta nasional, yang tentunya ditonton di seluruh penjuru Republik ini. Kotaku kembali melambung namanya. Kota yang selama ini terkenal hanya karena Reog Ponorogo dan Pondok Modern Darussalam Gontor. Terimakasih sangat tidak terkira untuk pencipta televisi, internet dan satelit Palapa.
Wajah-wajah Kakak Pembina Pramuka dalam tayangan televisi tersebut lesu tidak bergairah. Tampak wajah penyesalan, namun apa lacur musibah sudah terjadi dan waktu tidak dapat diputar ulang. Kalau saja mesin waktu dalam film Back To The Future benar-benar ada, para Kakak Pembina Pramuka pasti akan menggunakannya untuk kembali ke saat sebelum terjadi peristiwa naas itu. Membuat manajemen perjalanan kegiatan dengan sebaik-baiknya dan patuh pada Safety Procedure. Menjajaki kedalaman sungai, menyiapkan ban pelampung dan tali penyelamat. Tak lupa satu tim rescue untuk membackup ban pelampung dan tali penyelamat jika mengalami kegagalan fungsi. Harus ada plan B sampai Z dalam semua kegiatan alam bebas. Dan yang tak kalah penting adalah sebuah pemahaman, bahwa dalam semua kegiatan harus dihilangkan kepentingan untuk balas dendam kepada junior. Semua harus dilandasi dengan perasaan cinta. Cinta kepada organisasi diwujudkan dengan membentuk kader-kader yang tangguh dan loyal terhadap organisasi. Cinta kepada peserta kegiatan diwujudkan dengan selalu mempertimbangkan semua faktor yang mungkin dapat menyebabkan terancamnya keselamatan peserta.
Aku teringat perkataan Kang Andi dosen Fakultas Pertanian, Staf Pembantu Rektor III, seorang penggiat alam bebas yang juga anggota Wanadri. Tepatnya tujuh tahun lalu ketika presentasi Ekspedisi Bromo Tengger Semeru untuk deklarasi Caldera. Setelah memeriksa kesiapan kami untuk melakukan ekspedisi, beliau memberikan wejangan-wejangan bagaimana seharusnya sebuah kegiatan alam bebas dilakukan. Ditutup satu kalimat yang sangat bermakna.
“Kebanggan bukan didapat dari seberapa tinggi gunung yang kamu daki, tapi apa yang kamu dapat dari pendakian itu sendiri.”
Bagiku kalimat itu berarti: prestise bukan tentang menapakkan kaki di puncak-puncak gunung, merayap di terjalnya tebing atau memacu adrenalin di sungai dengan jeram grade IV. Tapi memaknainya dalam belantara hidup yang sesungguhnya. Tentang semangat bertahan hidup, kebersamaan dan cinta.
Muhammad Ardani Ardia Masrura

No comments:

Post a Comment

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.