Penggalan IV: Dejavu

Semakin hari imajinasiku terus menyeruak. Seperti rentetan senapan mesin yang mengenai pusat lamunan dan nyaris mengenai titik kesadaran. Menembus kenangan masa lalu dan keinginan di masa depan. Kali ini sebuah mobil imajinasi berhenti, tanpa ada pengemudinya. Mobil itu memberi isyarat padaku untuk segera menaikinya. Dengan medan magnet yang sangat kuat, menarik dan membuatku terduduk dibelakang kemudi. Aku menyerah, kunyalakan mobil langsung tancap gas. Terus melaju tak memperdulikan batas kecepatan yang ada. Jarum pengukur kecepatan terus bergerak, melesat menembus batas rasionalitas. Tak hanya melebihi kecepatan pesawat Concorde tapi sanggup melampaui kecepatan cahaya. Semuanya menjadi gelap dan hilang lalu tersungkur tak sadarkan diri.
Aku terbangun ditempat yang sepertinya tidak terlalu asing. Dipinggiran rimba, dalam hamparan padang rumput yang ditumbuhi banyak sekali bunga Edelweiss. Langit cerah bertabur bintang diterangi cahaya rembulan yang kadang timbul tenggelam tertutup awan. Kuperhatikan langit mencari empat bintang yang bila dihubungkan dengan garis khayal akan membentuk layang-layang. Kutemukan selatan, tapi sebuah pemandangan membuat terpaku dan takjub nan terkesima. Seperti kerucut besar yang hitam dan kokoh, sesekali ujung runcingnya mengeluarkan kepulan asap yang tetap hitam karena malam. Aku ingat itu! puncak Mahameru gunung Semeru, titik tertinggi di Pulau Jawa. Tapi kenapa ini terjadi, kenapa aku sampai kesini?
Kuperhatikan sekeliling, otakku bekerja menyempurnakan kesadaran. Dejavu! Aku melihat masa lalu. Aku kembali ke masa lalu. Tiga buah tenda dome saling berhadapan dan salah satunya tampak cahaya redup yang menembus keluar. Cahaya yang berasal dari lampu senter yang digantung di rangka tenda. Disebelah barat ketiga tenda ada sebuah tenda berbentuk segitiga. Semuanya sunyi terlelap dibuai malam. Aku berada di daerah Kalimati, kaki sebelah utara kerucut Mahameru dekat aliran lahar yang telah mengering.
Penghuni ketiga tenda dome itu adalah sebelas orang yang ingin mendeklarasikan sebuah kelompok pecinta alam. Yoni, Amarsif, Adam, Ono, Billy, Atta, Edi, Fadlin, Eko, Ndank dan Dani sebagai ketua tim. Sedang tenda segitiga itu milik bebarapa pendaki dari Bekasi. Aku tidak ingat lagi berada di tenda yang mana, yang aku ingat Amarsaif berada dalam tenda yang lampu senternya menyala karena ia tidak bisa tidur dalam kegelapan.
Aku mendekat kearah tenda itu, menyentuhnya namun tidak bisa. Kucoba meraihnya lagi tetap tidak bisa, aku seperti benda yang tidak berwujud. Suara dering weker membelah kesunyian. Itu adalah weker milik Eko yang wajahnya mirip pelawak Gogon. Aktifitas dimulai, Eko membangunkan rekan-rekan yang lain untuk memulai etape terakhir pendakian Mahameru. Ndank dan Dani tampak sudah keluar tenda menggeliat sebentar kemudian menyalakan kompor lapangan untuk memasak air, membuat kopi susu menghangatkan tubuh yang kedinginan. Rekan-rekan yang lain satu persatu keluar dari kepompong tidur menyiapkan segala sesuatu untuk Summith Attack. Atta sibuk membungkus kamera SLR Yashica FX-2000 dengan plastik, Ono berolahraga ringan sekedar menghangatkan tubuh, Billy satu-satunya cewek dalam tim mengaduk kopi susu sebagian dimasukkan termos kecil dan Adam menyalakan rokok karena ia tidak bisa berpikir jernih kalau tidak merokok. Tenda segitiga milik pendaki dari Bekasi pun tampak beraktifitas serupa.
Tanpa komando semua anggota tim bergegas menyiapkan peralatan pribadi masing-masing. Mengenakan jaket tebal, sepatu dengan geiternya, balaklava, air minum dan senter. Sebagian anggota tim mengenakan daypack membawa peralatan operasional secukupnya.
“Sap, gimana barang-barang yang lain masa kita tinggal disini? Aman nggak?”
Aku tertawa kecil melihat Yoni memanggil Dani dengan sebutan Sapi, panggilanku waktu masih kuliah dulu.
“Semua barang yang tidak dibawa masukin tenda semua, kita tinggal disini. Pendakian terakhir menuju puncak medannya berat, sangat sulit jika membawa carrier dengan muatan penuh. Insya Allah aman.”
Aku kembali tersenyum. Aku dulu bisa menjawab seperti itu. Padahal sebelumnya belum pernah mendaki puncak Mahameru. Aku hanya mengetahuinya melalui literatur-literatur dan laporan pendakian orang lain.
“Mas, mau berangkat sekarang ya?”, seorang pendaki dari Bekasi datang dan bertanya pada Ono yang sedang mempersiapkan peralatan P3K.
“Ya Mas, ada apa ya?’, jawab Ono singkat.
“Kalau mau berangkat, nggak usah takut kalau barang yang ditinggal hilang. Satu teman kami menunggu tenda, kebetulan ia pernah mendaki Semeru.”
Semua anggota tim deklarasi Caldera bernafas lega, kemudian masing-masing bersalaman mengenalkan diri dengan para pendaki dari Bekasi. Sebuah suguhan ikatan persaudaraan yang menembus batas ruang dan waktu. Bersatu di tengah belantara pegunungan Semeru. Selesai bercakap-cakap ringan merasakan hangatnya kopi susu, para pendaki Bekasi berpamitan untuk berangkat lebih dulu. Tim deklarasi Caldera-pun segera bersiap, berdiri membentuk lingkaran kecil.
Persiapan terakhir, Dani dan Atta menyamakan frekuensi Handy Talky dan mencobanya. Dirasa semua persiapan cukup, semua tim deklarasi Caldera menyempurnakan lingkaran dengan saling berangkulan. Membuat sebuah lingkaran tertutup. Aku berteriak-teriak mengingatkan Dani untuk menyiapkan beberapa hal yang terlewatkan. Karena aku tahu pada pendakian itu, akan ada beberapa masalah yang terjadi karena kealpaan kami. Tapi percuma, tim deklarasi Caldera itu tidak bisa mendengar teriakanku. Saat ini aku hanyalah sebuah bayangan ketidaksadaran.
“Malam ini di Kalimati, tanggal 21 Agustus 2001 pukul dua belas malam, masih di satu titik dalam kebersamaan marilah kita berdo’a untuk keberhasilan dan keselamatan kita dalam pendakian Mahameru. Berdo’a dimulai!”
Hening kembali menyeruak setelah Dani mengucapkan kalimat itu. Semua tim deklarasi Caldera menunduk, bermunajat dihadapan-Nya. Merasakan hangatnya cinta Tuhan terhadap hamba-Nya. Usai berdo’a semua menyatukan telapak tangan melepaskannya dengan sebuah teriakan.
“C A L D E R A !!”
Membahana di tengah sepi, memenuhi tiap sudut rimba dengan gaung yang menjalar memantulkannya dalam tiap relung sanubari. Menasbihkan diri untuk menancapkan bendera di tiik tertinggi. Meluruskan niat untuk membentuk wadah petualangan bagi jiwa-jiwa yang ingin merasakan sari pati hidup. Melukis dunia dengan warna-warni kemerdekaan dan keindahan.
Berangkatlah mereka, 11 orang tim deklarasi Caldera. Berjalan beriringan membelah malam, menerobos padang Edelweiss mengikuti jalur yang sudah ada. Si Tambun Atta berjalan paling depan ditutup Dani ketua tim sekaligus sweeper. Lima belas menit berlalu, mulai memasuki hutan dengan kontur yang mulai menanjak. Senter bergantian menyala sebab cahaya rembulan semakin menghilang terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Aku berjalan mengikuti mereka, tidak berusaha untuk berkomunikasi. Aku sadar sekarang berada dalam dimensi waktu yang berbeda dengan mereka. Mungkin salah satu koordinatnya bersinggungan hingga membuatku bisa melihat rekaman masa laluku. Tanpa bisa berinteraksi.
Jalur semakin menanjak, terlihat berderet banyak monumen kecil bertuliskan nama-nama pendaki yang meninggal dalam pendakian Semeru. Peringatan untuk tidak ceroboh terhadap alam dan durhaka kepada Tuhan. Arcapada nama daerah ini. Gerbang transisi dari duni nyata menuju dunia mayapada menurut mitos pewayangan. Pendakian semakin sulit, selain terjal tempat berpijak adalah pasir bercampur kerikil hasil erupsi kawah Jongring Saloka. Namun semangat tidak surut, terus mendaki menuju puncak idaman.
Disini satu masalah muncul. Yoni kambuh penyakitnya. Penyakit yang dibawanya sejak dalam kandungan ibunya. Tapi aku salut, sekarang ia menjadi seorang perwira Anggatan Udara. Salah satu Calderawan yang sukses memasuki dunia militer.
“Sap urang lapar ieu, kumaha?”, dengan logat Sunda yang sangat kental.
“Tahan dulu Yon, masa baru sebentar jalan sudah kambuh penyakit laparmu?”, jawab Dani sedikit menyesal karena lupa membawa sedikit makanan pengganjal perut.
“Nggak bisa Sap, perut ini sudah bermusik ria.”, Yoni memegangi perutnya yang sudah mengeluarkan bunyi-bunyian aneh. Tidak hanya keroncong, tapi sudah merambah musik rock bahkan dangdut.
“Ok Yon, berdo’a saja semoga ada yang bisa dimakan.”, Dani memperhatikan sekeliling mencari-cari sesuatu.
Syukurlah, didekat mereka ada rombongan pendaki yang masih bercengkerama dekat tenda bersiap-siap mendaki. Dani mendekati para pendaki yang ternyata adalah pendaki dari UNS Solo. Karena sesama Jawa, Dani cukup fasih untuk berbasa-basi minta bantuan makanan. Dengan janji akan dikembalikan waktu turunnya nanti. Hutang yang harus dibayar. Satu bungkus mie instan diterima yang langsung diserahkan untuk Yoni. Sekadar menghentikan alunan musik di perut Yoni.
Pendakian berlanjut, namun rombongan tim deklarasi Caldera terpecah menjadi dua. Lima orang sudah tidak kelihatan, enam orang tertinggal di belakang. Yoni, Billy, Adam, Amarsaif, Ono dan Dani. Lepas dari Arcapada melewati batas vegetasi, medan berubah menjadi alur-alur batuan bekas aliran lahar. Tidak ada tumbuhan apapun, yang ada hanya batu dan pasir. Pendakian sangat sulit. Setiap lima langkah naik harus dikurangi tiga langkah merosot turun. Tidak ada pijakan yang stabil. Hanya semangat yang terus memacu fisik yang sudah terkuras.
Waktu terus berjalan, semburat merah sudah mulai terlihat di ufuk timur. Jauh diatas satu bayang pohon berdiri sendiri, sendiri tumbuh diatas bebatuan vulkanik.
“Itu Cemoro Tunggal!”, teriak Ono menyemangati rekan yang lain.
Berenam kembali terseok-seok menapaki pasir dan kerikil. Berniat menyusul keenam rekan mereka. Dani mencoba menghubungi lewat HT, namun hanya bunyi kerosok-kerosok yang terdengar. Mendaki dan terus mendaki hanya itu yang terlihat.
Cemoro Tunggal sudah tersentuh, namun kelima rekan yang lain belum satupun yang tersusul. Bernafas sebentar, mencicipi segarnya air dalam vedpless. Air yang diambil dari mata air raksasa Ranu Kumbolo. Namun masalah kembali muncul seiring matahari yang mengintip dari celah cakrawala. Wajah Billy pucat pasi.
“Yon, aku nggak kuat lagi.”, kalimat itu keluar dari mulut Billy.
“Ayo Bil, tinggal sedikit lagi kita sampai puncak.”, Amarsaif menimpali memberi semangat.
Melihat kondisi itu, rekan yang lain berinisiatif memberi bantuan. Yoni mengeluarkan webbing mengikatnya di pinggang Billy. Yoni dan Ono berjalan didepan menarik Billy, Amarsaif dan Adam membantu di belakang Billy. Sedang Dani terus mencoba menghubungi Atta untuk memperlambat tempo, mengabarkan Billy dalam keadaan kritis.
Matahari bulat utuh menyinari bumi. Menerangi jagat raya dengan kehangatan sinarnya. Subuah pemandangan indah tersaji. Arah utara tampak jajaran pegunungan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, arah timur terlihat hamparan luas yang menghijau, disiram cahaya kuning keemasan. Bekas aliran lahar jelas terlihat menggurat kerucut Mahameru. Puncak semakin dekat, namun kondisi Billy tidak urung membaik. Wajahnya pucat pasi ditambah pandangan mata yang kosong.
“Aku sudah tidak sanggup lagi. Kalian saja yang meneruskan ke puncak, aku tunggu disini.”, perkataan Billy seakan mematahkan semangat rekan yang lain untuk meneruskan pendakian.
Rekan yang lain menyemangati Billy untuk tetap meneruskan pendakian. Namun Billy tetap bersikukuh untuk tetap tinggal. Wajahnya semakin pucat dan pandangannya semakin kosong.
“Billy aku bawa turun, yang lain tetap meneruskan pendakian!”, sebuah keputusan dilematis diambil Dani sebagai ketua tim.
Seandainya aku bisa berkomunikasi dengan mereka tentu aku akan menyuruh mereka untuk memaksa Billy mendaki. Karena aku tahu fisik Billy masih kuat. Billy hanya belum terbiasa berada dalam ketinggian, apalagi berada di lereng Mahameru yang terjal. Vertical Limit of Java kata Yoni. Apa daya aku hanyalah makhluk imajiner. Tak mungkin bisa merubah kenyataan yang sudah terjadi.
“Aku ikut turun!”, sergah Amarsaif disusul rekan-rekan yang lain.
“Tidak! Salah seorang harus terus mendaki. No, kamu naik susul Ndank kibarkan bendera ini di puncak!”, perintah Dani kemudian menyerahkan sebuah bendera berwarna merah bergambar telapak kaki dan tiga arah mata angin kepada Ono.
Ono meraih bendera itu kemudian langsung berlari mengejar anggota tim deklarasi Caldera yang sudah berada jauh diatas. Dengan prestasinya sebagai seorang atlit pencak silat, Ono bukan lagi mendaki tapi berlari diatas pasir dan kerikil. Melesat seperti angin. Mungkin tingkatan di perguruan pencak silatnya sudah tinggi, hingga mampu menguasai ilmu seipi angin.
“Kalian bertiga bantu Billy turun, aku turun duluan. Aku usahakan minuman hangat sudah tersedia sebelum kalian sampai!”, Dani menambahkan komando lagi kepada Yoni, Amar dan Adam.
Jika Ono tadi berlari keatas, Dani langsung berlari menuruni curamnya lereng Mahameru. Entah kesetanan atau apa Dani terus berlari, walau berkali-kali jatuh tersungkur. Bangun dan lari lagi. Sementara Yoni, Amar dan Adam pelan-pelan membantu Billy menuruni lereng Mahameru.
Sampai di lokasi Camp Craft, Dani menyiapkan alat masak. Membuat minuman hangat untuk Billy dan rekan-rekan yang lain. Kemudian memakai kaca mata hitam mengenakan topi, berdiri mematung memandang puncak Mahameru. Cukup lama sebelum anggota tim yang lain datang. Terpekur sendiri dalam lindap sepi. Merangkai setiap abjad pertempuran antara kalutnya pikiran dan semangat yang melemah. Kaca mata hitam mnyembunyikan air matanya yang menetes. Sedih karena gagal menginjakkan kaki di puncak Mahameru. Gagal mewujudkan mimpi untuk berziarah diatas inmemoriam Soe Hok Gie. Pilu karena ekspedisi yang dipimpinnya berantakan.
“Aku seorang pecundang.”, bisik Dani lirih.
Aku yang hanya jasad imajiner berdiri disampingnya. Mencoba untuk menghibur, membakar kembali semangat petualangnya yang mulai redup.
“Dan, kamu tidak gagal. Kamu bukan seorang pecundang. Hanya waktu yang akan membuatmu sadar, apa yang kamu lakukan sekarang adalah tonggak keberhasilan. Seperti yang aku rasakan sekarang ini. Aku bangga menjadi kamu.”
Aku menghentikan ocehan. Menemani Dani memandang puncak Mahameru. Tapi dengan ekspresi yang berbeda, aku tersenyum.
“Keberhasilanmu bukan hanya tentang kebanggaan mencapai puncak gunung. Kamu telah berhasil mengalahkan egomu sendiri. Kamu telah memenuhi janjimu untuk membawa semua anggota tim dalam keadaan utuh. Dan sebentar lagi kamu akan melihat kibaran bendera Caldera di puncak Mahameru.”
Dani terus mematung, air mata yang tersembunyi dibalik kaca mata hitam belum juga mengering. Tak memperdulikan apa yang aku ucapkan. Aku biarkan, Dani hanya belum memahami. Dani akan memahaminya setelah melanjutkan kembali petualangan-petualangannya. Di gunung yang lain dan dalam kehidupannya nanti.
Rombongan pertama datang. Yoni, Amarsaif dan Adam berjalan pelan menuntun Billy. Melihat tenda, Billy menghambur masuk kedalam menutupnya rapat. Amarsaif dan Yoni duduk lesu di depan tenda. Adam menjernihkan pikiran, menyalakan sebatang rokok mengacuhkan secangkir minuman hangat yang sudah tersaji. Semua larut dalam galau. Hanya deru angin yang terdengar, kawah Jongring Saloka kembali menghembuskan nafas.
Jauh di tenggara, sebuah noktah merah terlihat. Terus bergerak mendekat, berkibar-kibar dibawa lari pembawanya. Ono sudah muncul, berlari membawa bendera Caldera yang diikat pada ranting kecil. Membawa pesan kebanggaan dari puncak Mahameru.
“Lapor kapten! Perintah sudah dilaksanakan. Bendera berhasil berkibar di ketinggian 3.676 meter diatas permukaan laut. Tim yang lain sudah tersusul, sekarang dalam perjalanan turun. Sudah kusampaikan salammu untuk Soe Hok Gie!”
Berlagak ala militer Ono memberikan laporan tepat di depan Dani. Tidak meraih bendera yang diserahkan Ono, Dani merangkul Ono erat dalam kebersamaan. Dani tahu keberhasilan ini adalah keberhasilan tim. Dua insan ini meneteskan air mata.
Rombongan terakhir tiba, berarak-arak menuju satu titik. Adegan kebersamaan kembali tersaji. Semua saling berangkulan, merasakan persaudaraan dalam satu dekapan. Tenda Billy terbuka memperlihatkan wajahnya yang berlinangan air mata. Menangis tapi tersenyum.

Mahameru berikan damainya
didalam beku Arcapada
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa
- Dewa 19-
Muhammad Ardani Ardia Masrura

No comments:

Post a Comment

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.