Lelaki kedua I


Malam perlahan menabir rembulan yang cahayanya tidak sempurna menerobos lebatnya rimba.  Teriakan binatang malam saling bersahutan, sinar-sinar matanya tajam menatap curiga kepada para pendatang asing. Kandang Badak pos terakhir pendakian sekaligus persimpangan menuju puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango Jawa Barat. Ada sekitar belasan tenda berdiri dalam selimut rimba yang teramat damai. Namun tampak semua penghuninya sudah terlelap dalam sleping bag-nya masing-masing. Tidur dalam kelelahan setelah seharian mendaki. Recovery, mengembalikan tenaga dan semangat untuk melanjutkan etape terakhir sebuah pendakian. Summit attack, tahapan terakhir yang sangat menentukan berhasil tidaknya seorang pendaki melakukan pendakian menuju puncak.
            Namun masih ada satu tenda yang masih terlihat geliat aktifitas disana. Perapian kecil yang masih menyala di depan tenda dan dua orang lelaki didekatnya. Belum ada percakapan apapun dari dua lelaki ini. Hanya hisap demi hisap rokok kemudian dihembuskan asapnya. Keduanya terlena dalam dinginnya malam ini, menghangatkan hati dengan perapian, saling menunggu dengan kegelisahan untuk memulai sebuah percakapan.
Handi :    “Day, kamu tidurlah dulu. Istirahat, besok pagi pendakian jalurnya lebih berat. Aku masih ingin ‘berjelaga’ dengan malam. Fajri sama Surya sudah terlelap dari tadi.”
Dayat :    “Nggak Han, aku masih ingin disini. Menghabiskan malam ini denganmu. Aku merindukan saat-saat seperti ini. Kamu tahu Han kita sudah lama tidak pernah mendaki bersama lagi. Maaf.”
Handi :    “Tidak ada yang salah disini. Toh kita semua punya kehidupan masing-masing. Punya prioritas sendiri-sendiri, mana yang harus dikerjakan.”
Dayat :    “Bukan itu. Semenjak kehadiran Levia, kita tidak pernah bersama-sama lagi. Kamu sering melakukan pendakian tanpa aku lagi. Kamu sibuk dengan komunitasmu yang baru. Bahkan aku sering dengar kamu melakukan pendakian sendiri.”
Handi :    “Sudahlah, kita disini untuk mendaki. Aku tidak pernah mempermasalahkan itu lagi. Justru aku senang bisa ngajak kamu mendaki lagi. Aku banyak berhutang budi sama kamu. Lama numpang di kostan kamu. Makan tidur numpang sama kamu. Tapi sekarang malah mengganggu kehidupanmu.”
Dayat :    “Kamu tidak pernah mengganggu. Justru aku lah yang merusak cerita indahmu dengan Levia. Surely brother, aku hanya ingin menunjukkan bahwa Levia itu seperti itu. Kamu harus melihat ini sebagai sebuah kenyataan. Levia itu tidak pantas menjadi istrimu. Aku tahu kamu sangat mengharapkan Levia untuk menjadi istrimu.  Lakukan seperti caraku, nikmati tubuhnya jangan pernah berharap lebih dari itu. Setelah itu tinggalkan! Mudah khan?”
Handi :   “Day, kamu seperti kenal sama aku baru saja. Sudahlah, jangan bersembunyi dalam kebohonganmu. Aku tahu kamu tidak bisa lepas dari jerat pesona Levia. Sudah saatnya aku pergi dari cerita ini. Jangan pernah memperdulikan kehidupanku lagi.”
Dayat :    “Bukan begitu! Kita maju bersama!”
Handi :    “Maju bersama untuk mendapatkan apa!”
               “Untuk semakin larut dalam cerita yang gak pernah selesai ini?”
               “Cerita ini harus diselesaikan, aku sudah lelah.”
Dayat :    “Kenapa kamu menyerah, bukankah kamu duluan yang memulai cerita ini?”
Handi :    “Aku tidak pernah menganggap ini sebuah perang. Tidak ada yang kalah dan menang disini. Yang ada adalah memilih jalan hidupnya masing-masing.”
               “Untuk itu aku memilih pergi dari cerita ini.”
                “Harus begitu! Karena satu-satunya yang bisa mundur hanya aku. Kamu tidak mungkin bisa lepas, aku tahu itu. Levia pun sulit melepaskanmu, walau melepas aku pun tidak mudah. Dan aku rasa Levia pun tidak mungkin pergi dari kita berdua.”

            Malam kembali berbalut sunyi, dingin kembali menusuk hati dua lelaki ini. Dayat menyelesaikan hisapan terakhir rokoknya, puntungnya dibuang ke perapian yang sudah mulai redup. Handi sebentar melirik jam tangan Swiss Army bajakan, mereguk habis sisa kopi susu dalam satu gelas yang diminum bergantian dengan sahabat terbaiknya.
Handi :    “Ok, sepertinya cerita itu tidak perlu dibahas lagi. Cerita itu tidak akan pernah selesai kalau hanya didebatkan. Sekarang waktunya kita istirahat, pendakian besok pagi jauh lebih berat.”
               “Seperti rencana kemarin, besok kamu paling depan. Fajri sama Surya dibelakangmu. Aku sweeper.
Dayat :    “Tapi pengambil keputusan dalam pendakian ini tetap kamu. Kamu tetap team leader-nya. Kamu lebih paham seluk beluk gunung ini.”
Handi :  “Siap kawan, sekarang kita istirahat. Dingin diluar, aku juga sudah capek.”

               Malampun semakin sunyi dan dingin, tapi jauh dari kedamaian untuk kedua lelaki ini. Mereka sulit terlelap dalam selimut kegundahan. Bercampur antara perasaan cinta, persahabatan, kepercayaan dan keikhlasan.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.