Lelaki kedua II


Dikamar kostan, Handi terlihat sibuk mempersiapkan peralatan pendakian. Merapikan, kemudian memasukkan satu persatu kedalam ransel kapasitas 80 liter. Sangat cekatan Handi menyiapkan semua peralatannya, tampak Handi tidak ingin satupun peralatan yang terlupa. Dia paham betul harus meletakkan peralatannya dibagian mana. Mempertimbangan kenyamanan, dengan mengatur titik berat beban ransel itu dengan sempurna. Tentu memperhatikan juga fungsi sebuah peralatan. Peralatan yang sangat diperlukan dalam kondisi terdesak diletakkannya di tempat yang mudah terjangkau dan mudah dikeluarkan. Packing, salah satu seni dalam sebuah manajemen perjalanan kegiatan alam bebas. Mempersiapkan segala sesuatu dengan matang dan terencana dengan mempertimbangkan semua resiko yang akan dihadapi.
               Tapi yang terlihat disini bukan sekadar seni dan kebutuhan hidup ketika Handi yang melakukan. Handi tegas dan yakin apa yang ia kerjakan. Mewakili ketegasannya ketika mengambil sebuah keputusan. Keputusan untuk harus menjalani hidup seperti apa. Dengan ketenangan untuk tetap survive dalam kondisi apapun.
               Tak berselang lama, di pintu kamar yang terbuka muncul sesosok gadis cantik, tinggi langsing semampai. Garis bajunya sempurna membalut tubuh indahnya. Berhias kerudung ungu yang begitu anggun dan mempesona. Hanya orang bodoh yang mengatakan bahwa gadis itu tidak ayu. Wajahnya yang bulat telur bersih dengan sepasang mata yang syahdu. Dihiasi senyum yang selalu menggoda tiap lelaki untuk menikmatinya. Keanggunan dan sensualitas berpadu menjadi satu, dan semua lelaki pasti setuju itu ketika melihat gadis ini. Tapi hanya beberapa orang yang bisa melihat bahwa dibaliknya banyak bekas sayatan luka dihati yang tersembunyi.
Levia  :    “Assalamualaikum. Sore Mas, Levia boleh masuk nggak nih?”
Handi :    “Waalaikumsalam, masuklah! Tapi maaf gak ada apa-apa disini kalau sudah packing mau berangkat mendaki. Semua hartaku ada diransel ini.”

               Gadis ayu yang ternyata bernama Levia itu kemudian duduk didepan meja kecil yang berserakan buku-buku pendakian, beberapa seri majalah fotografi dan asbak rokok yang penuh puntung. Dinding depan meja tertempel catatan rencana kegitan dan beberapa puisi Chairil Anwar juga Soe Hok Gie. Benar kata Handi, semua isi kamar ini telah masuk rapi kedalam ranselnya. Tersisa didinding sebelah barat poster W.S. Rendra bersanding sejajar foto konser Iwan Fals. Dinding sebelah selatan menempel rapi peta topografi Gunung Semeru yang sudah diperbesar enam kali dari ukuran asli. Semua orang yang masuk ke kamar ini pasti menebak bahwa Handi adalah seorang pendaki sekaligus menyukai musik dan sastra. Jarang yang tahu bahwa sebenarnya Handi merupakan mahasiswa aktif jurusan sains di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Barat.
Levia  :    “Levia tahu itu Mas, emang mau mendaki kemana lagi? Perasaan baru seminggu kemarin habis mendaki sama Mas Dayat?”
Handi :    “Ke Ciremai Lev, kebetulan ada undangan bersih gunung dari Pemkab Kuningan.”
              
               Levia menarik napas perlahan setelah mendengar jawaban Handi. Handi yang tidak lepas menumbukkan pandangannya ke Levia, menerawang, mencoba menyelami pikiran Levia yang memang sedang diliputi banyak pertanyaan untuk Handi.
Levia  :    “Mas, Levia boleh nanya gak?”
Handi :    “Ya udah, Handi selalu siap menjawab semua pertanyaan Levia.”
Levia  :    “Kenapa sih, Mas Handi harus seperti ini. Kenapa gak pernah berhenti untuk mendaki? Kenapa harus terus berlari dengan cara menyiksa diri seperti ini? Kenapa Mas? Levia ikhlas dipersalahkan karena membuat Mas Handi seperti ini, karena dalam cerita ini yang salah adalah Levia. Kenapa hadir diantara Mas Handi sama Mas Dayat. Semua Levia yang salah, tapi tolong hentikan semua ini!”
Handi :    ”Sudah Lev, gak usahlah Levia berpikiran seperti itu. Handi punya pilihan seperti ini, tahu resiko apa yang harus Handi hadapi. Kita punya pilihan hidup masing-masing Lev.”
Levia  :    “Tapi bukan seperti itu caranya Mas. Mas Handi selalu menyerang Levia dengan perasaan bersalah.”
Handi :    “Kalau begitu, Handi balik nanya?”
               “Levia bisa gitu melepas Dayat?”
Levia  :    “Tidak bisa Mas, sama sulitnya ketika harus melepas Mas Handi.”
Handi :    “Ya sudah, berarti salah satu dari kita harus ada yang pergi!”
Levia  :    “Jangan Mas. Levia menginginkan Mas Dayat juga Mas Handi. Ada yang Mas Handi miliki yang tidak dipunyai Mas Dayat. Begitu juga sebaliknya.”
               “Kalau boleh jujur, Levia selama ini terkekang sama Mas Dayat, dia posesif banget. Levia sama Mas Dayat hanya satu warna, memiliki dan dimiliki.” “Sedang ketika bersama Mas Handi, Levia memiliki banyak warna. Mas Handi membebaskan Levia dengan kegiatan-kegiatan yang Levia sukai. Mas Handi mengajarkan Levia fotografi, mendaki gunung, bermain musik bersama atau hanya sekedar bertukar puisi. Sedang Mas Dayat, ketika Levia ingin jadi vokalis Band CafĂ© aja gak boleh.”
               “Levia masih sayang sama Mas Handi!”
Handi :    “Rasa sayang seperti apa Lev! Apakah seperti ketika Levia menyerahkan semua tubuh Levia untuk Handi nikmati. Tidak Lev, justru Handi bersalah malam itu. Ketika harus menerima ajakan Levia. Handi tidak pernah menginginkan itu!”
Levia  :    “Maaf Mas. Levia tahu itu, Levia tahu Mas Handi tidak pernah menginginkan itu. Levia memang memaksa, karena Levia tidak ingin melepas Mas Handi.”
               “Tapi ternyata yang Levia rasakan malam itu. Mas Handi justru melakukannya penuh dengan kebencian. Jauh dari Mas Handi yang Levia kenal selama ini.”
               “Ternyata Levia lebih menikmati kebersamaan dengan Mas Handi cukup dengan berdua tanpa sentuhan fisik apapun.”
               “Sekali lagi maaf Mas Handi untuk malam yang penuh sesal itu.”
Handi :    “Tidak ada yang perlu disesalkan disini. Karena pada dasarnya kita sudah memulai cerita ini dengan kesalahan.”
               “Mulai sekarang, kita mulai cerita baru lagi. Tanpa mengulang kesalahan yang pernah terjadi.”
Levia  :    “Tapi kalau begini terus cerita ini tidak akan pernah berakhir Mas?”
Handi :    “Bisa Lev! Get out from my fuckin’ face! Dan jangan pernah berkomentar tentang apa yang Handi lakukan!”
Levia  :    “Mas???”
              
               Levia terperangah kaget mendengar jawaban Handi yang tegas tanpa ragu. Air mata dari sepasang bola mata yang syahdu itupun tak terbendungkan. Mengalir deras mengimbangi keputusan Handi yang tegas.            
               Dengan sigap Handi meraih sepatu Caterpilar kemudian memakainya, berdiri menyandang ransel ungu dihadapannya. Diambilnya peralatan terakhir dalam satu tas khusus. Kamera SLR Pentax K1000 yang tidak pernah lupa Handi bawa. Mengabadikan keindahan pada tiap jejak langkah petualangannya.
Handi :    “Sudah hampir gelap Lev, Handi mau berangkat. Kasihan yang lain sudah menunggu di gerbang kampus.”
               “Kalau Levia mau disini terus silahkan, Levia tentu masih ingat harus meletakkan kunci kamar dimana.”
               “Assalamualaikum.”

               Handi melangkahkan kakinya dengan pasti, tanpa sedikitpun menoleh kebelakang. Meninggalkan Levia yang berderai air mata, menumpukkan rasa sesal dan untaian rasa bersalah yang berkepanjangan, menceraikan sebuah persahabatan. Nyata ia rasakan cinta yang begitu mendalam dari seorang Handi. Nyata ia lihat kepedihan Handi ketika mengambil keputusan itu. Handi yang terus berlari, bersembunyi tak lelah dibalik pendakian-pendakiannya untuk beradaptasi tanpa kehadiran Levia dan Dayat. Memandang gundah, melepas lelaki kedua-nya dengan cara seperti ini.
Levia   :           “Waalaikumsalam. Barokallohu Mas Handi.”           

No comments:

Post a Comment

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.