Perubahan iklim dunia yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitro oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan Gas Rumah Kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem.
Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat. Salah satu perbaikan proses penangkapan level karbon yaitu melalui penyempurnaan siklus karbon di alam ini dengan menggapai CO2 dari atmosfer melalui vegetasi (tumbuhan) dan menyimpannya dalam bentuk kayu atau biomassa dan tanah, serta di laut yang menyuburkan fitoplankton dengan nutrisi dan menginjeksikan CO2 sampai kedalam 1000 m dan tanah. Salah satu yang dapat berpotensi untuk menyerap karbon adalah pekarangan karena cukup banyak menyimpan tanaman dengan jenis yang beragam.
Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada perubahan alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia.
Dalam dua dekade terakhir ini perubahan iklim global akibat meningkatnya suhu bumi menjadi isu yang ramai dibicarakan di kalangan masyarakat dunia. Selama akhir abad ini suhu bumi meningkat 0.6ÂșC. Selama dua dekade terakhir ini emisi CO2 meningkat dua kali lipat dari 1400 juta ton/tahun menjadi 2900 ton/tahun. Sementara itu, konsentrasi CO2 di atmosfir pada tahun 1998 adalah 360 ppm dengan laju peningkatan per tahun 1,5 ppm.
Tingginya peningkatan konsentrasi CO2 disebabkan oleh aktivitas manusia terutama perubahan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, pembangkit tenaga listrik dan aktivitas industri. Secara akumulatif, penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan dari hutan ke sistem lainnya memberikan sumbangan sekitar setengah dari emisi CO2 ke atmosfir yang disebabkan oleh manusia. Pada aktivitas pembakaran hutan berarti karbon yang telah diikat oleh tanaman beberapa waktu yang lalu dikembalikan ke atmosfir. Dalam kegiatan konversi hutan dan perubahan penggunaan lahan berarti karbon yang telah disimpan dalam bentuk biomasa atau dalam tanah gambut dilepaskan ke atmosfir melalui pembakaran ('tebas dan bakar') atau dekomposisi bahan organik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Cadangan karbon dari suatu bentang lahan juga dapat dipindahkan melalui penebangan kayu, hanya saja kecepatannya dalam melepaskan C ke atmosfir tergantung pada penggunaan kayu tersebut. Diperkirakan bahwa antara tahun 1990-1999, perubahan penggunaan lahan memberikan sumbangan sekitar 1.7 Gt/tahun dari total emisi CO2.
Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun, cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati, organisme tanah dan bahan organik tanah.
Tumbuhan menyerap CO2 untuk membentuk senyawa-senyawa organik yang dibutuhkan baik bagi tumbuhan itu sendiri maupun mahluk lain yang memanfaatkannya, yang dibentuk melalui proses fotosintesis. Senyawa organik yang terbentuk biasa disebut dengan biomasa. Tumbuhan tidak selamanya hidup tumbuhan akan mengalami kematian baik secara alami maupun tidak alami mati seluruh maupun sebagian, yang biasanya disebut dengan nekromasa.
Tumbuhan memerlukan sinar matahari, CO2 yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration). Dengan demikian, mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran.
Meskipun terdapat bagian yang mati, bagian tersebut juga masih menyimpan C tetapi jumlahnya tidak sebesar tumbuhan yang masih hidup. Nekromasa ini juga merupakan bahan organik yang akan terdekomposisi menjadi bahan organik tanah, sehingga akan menambah jumlah kandungan C dalam tanah. Tanah terbentuk melalui proses penghawaan/pelapukan batuan yang berjalan sangat lambat, sedimentasi yang terbawa erosi, dan dekomposisi organisme mati.
Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim dan agroforestri. Oleh karena itu, hutan primer dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah).
Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan agroforestri dan melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO2 yang berlebihan di udara. Jumlah C tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai ‘cadangan C’.
Jumlah C tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Penyimpanan C suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah C tersimpan di atas tanah (biomasa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah C tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT).
Pemanasan global kini menjadi pembahasan penting pada organisasi yang berlatar belakang lingkungan hidup. Karbon dalam hal ini bisa kita jual, sebagai dampak pembangunan yang tidak mementingkan lingkungan hidup pada negara-negara maju, mereka yang membeli cadangan karbon pada khususnya negara-negara berkembang, dengan pengestimasian suatu lahan/kawasan konservasi. Vegetasi yang ada di hutan alami berbeda dari suatu lahan ke lahan lain. Besarnya penyimpanan C berkisar antara 20 s/d 400 Mg/C Ha (Megagram/Karbon Hektar) tergantung pada jenis dan komposisi ekosistem hutan, letak geografis, tanah, dan iklimnya. Pengelolaan hutan juga menentukan penyimpanan C dan perubahan dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh pertumbuhan dan gangguan termasuk hama penyakit dan kebakaran. Besarnya rata-rata penyimpanan C pada suatu sistem penggunaan lahan tergantung pada tingkat akumulasi C pada berbagai fase dalam satu siklus, dan juga tergantung pada waktu yang dibutuhkan per fase. Sehingga kalaupun Negara Indonesia ingin melakukan perdagangan karbon hal itu bisa saja terjadi, dengan menghitung besaran lahan Konservasi berupa hutan alami, agroforestri, dll dengan mengkorversikan harga carbon treat (C= ± Rp 80.000,-ha/Thn, CO2= Rp 10.000-300.000,- ha/Thn). Sehingga diharapkan pengembangan potensi lahan konservasi berupa hutan yang diharapkan dapat menambah Penghasilan Asli Daerah (PAD) atau devisa negara secara umum. Pembangunannya diarahkan pada pemanfaatan kekayaan sumber daya alam hutan secara hemat dan optimal, peningkatan produksi dan penganekaragaman hasil hutan, pengelolaan usaha kehutanan secara efektif dan efisien yang didukung oleh usaha inventarisasi dan pemetaan.
Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat. Salah satu perbaikan proses penangkapan level karbon yaitu melalui penyempurnaan siklus karbon di alam ini dengan menggapai CO2 dari atmosfer melalui vegetasi (tumbuhan) dan menyimpannya dalam bentuk kayu atau biomassa dan tanah, serta di laut yang menyuburkan fitoplankton dengan nutrisi dan menginjeksikan CO2 sampai kedalam 1000 m dan tanah. Salah satu yang dapat berpotensi untuk menyerap karbon adalah pekarangan karena cukup banyak menyimpan tanaman dengan jenis yang beragam.
Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada perubahan alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia.
Dalam dua dekade terakhir ini perubahan iklim global akibat meningkatnya suhu bumi menjadi isu yang ramai dibicarakan di kalangan masyarakat dunia. Selama akhir abad ini suhu bumi meningkat 0.6ÂșC. Selama dua dekade terakhir ini emisi CO2 meningkat dua kali lipat dari 1400 juta ton/tahun menjadi 2900 ton/tahun. Sementara itu, konsentrasi CO2 di atmosfir pada tahun 1998 adalah 360 ppm dengan laju peningkatan per tahun 1,5 ppm.
Tingginya peningkatan konsentrasi CO2 disebabkan oleh aktivitas manusia terutama perubahan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, pembangkit tenaga listrik dan aktivitas industri. Secara akumulatif, penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan dari hutan ke sistem lainnya memberikan sumbangan sekitar setengah dari emisi CO2 ke atmosfir yang disebabkan oleh manusia. Pada aktivitas pembakaran hutan berarti karbon yang telah diikat oleh tanaman beberapa waktu yang lalu dikembalikan ke atmosfir. Dalam kegiatan konversi hutan dan perubahan penggunaan lahan berarti karbon yang telah disimpan dalam bentuk biomasa atau dalam tanah gambut dilepaskan ke atmosfir melalui pembakaran ('tebas dan bakar') atau dekomposisi bahan organik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Cadangan karbon dari suatu bentang lahan juga dapat dipindahkan melalui penebangan kayu, hanya saja kecepatannya dalam melepaskan C ke atmosfir tergantung pada penggunaan kayu tersebut. Diperkirakan bahwa antara tahun 1990-1999, perubahan penggunaan lahan memberikan sumbangan sekitar 1.7 Gt/tahun dari total emisi CO2.
Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun, cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati, organisme tanah dan bahan organik tanah.
Tumbuhan menyerap CO2 untuk membentuk senyawa-senyawa organik yang dibutuhkan baik bagi tumbuhan itu sendiri maupun mahluk lain yang memanfaatkannya, yang dibentuk melalui proses fotosintesis. Senyawa organik yang terbentuk biasa disebut dengan biomasa. Tumbuhan tidak selamanya hidup tumbuhan akan mengalami kematian baik secara alami maupun tidak alami mati seluruh maupun sebagian, yang biasanya disebut dengan nekromasa.
Tumbuhan memerlukan sinar matahari, CO2 yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration). Dengan demikian, mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran.
Meskipun terdapat bagian yang mati, bagian tersebut juga masih menyimpan C tetapi jumlahnya tidak sebesar tumbuhan yang masih hidup. Nekromasa ini juga merupakan bahan organik yang akan terdekomposisi menjadi bahan organik tanah, sehingga akan menambah jumlah kandungan C dalam tanah. Tanah terbentuk melalui proses penghawaan/pelapukan batuan yang berjalan sangat lambat, sedimentasi yang terbawa erosi, dan dekomposisi organisme mati.
Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim dan agroforestri. Oleh karena itu, hutan primer dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah).
Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan agroforestri dan melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO2 yang berlebihan di udara. Jumlah C tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai ‘cadangan C’.
Jumlah C tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Penyimpanan C suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah C tersimpan di atas tanah (biomasa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah C tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT).
Pemanasan global kini menjadi pembahasan penting pada organisasi yang berlatar belakang lingkungan hidup. Karbon dalam hal ini bisa kita jual, sebagai dampak pembangunan yang tidak mementingkan lingkungan hidup pada negara-negara maju, mereka yang membeli cadangan karbon pada khususnya negara-negara berkembang, dengan pengestimasian suatu lahan/kawasan konservasi. Vegetasi yang ada di hutan alami berbeda dari suatu lahan ke lahan lain. Besarnya penyimpanan C berkisar antara 20 s/d 400 Mg/C Ha (Megagram/Karbon Hektar) tergantung pada jenis dan komposisi ekosistem hutan, letak geografis, tanah, dan iklimnya. Pengelolaan hutan juga menentukan penyimpanan C dan perubahan dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh pertumbuhan dan gangguan termasuk hama penyakit dan kebakaran. Besarnya rata-rata penyimpanan C pada suatu sistem penggunaan lahan tergantung pada tingkat akumulasi C pada berbagai fase dalam satu siklus, dan juga tergantung pada waktu yang dibutuhkan per fase. Sehingga kalaupun Negara Indonesia ingin melakukan perdagangan karbon hal itu bisa saja terjadi, dengan menghitung besaran lahan Konservasi berupa hutan alami, agroforestri, dll dengan mengkorversikan harga carbon treat (C= ± Rp 80.000,-ha/Thn, CO2= Rp 10.000-300.000,- ha/Thn). Sehingga diharapkan pengembangan potensi lahan konservasi berupa hutan yang diharapkan dapat menambah Penghasilan Asli Daerah (PAD) atau devisa negara secara umum. Pembangunannya diarahkan pada pemanfaatan kekayaan sumber daya alam hutan secara hemat dan optimal, peningkatan produksi dan penganekaragaman hasil hutan, pengelolaan usaha kehutanan secara efektif dan efisien yang didukung oleh usaha inventarisasi dan pemetaan.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.