Ternyata Bukan Puncakmu Yang Kami Tuju

Ponorogo, 21 Agustus 2011
M. Ardani Adia Masrura, S.Si (C.004.PDR)

Hari itu dimulailah langkah kami. Menapakkan satu-persatu jejak kaki, menemui deretan ladang hingga masuk dalam lebatnya hutan. Kadang harus terengah, kala hitungan nafas yang melibihi jumlah langkah. “Kami masih kuat!”, setiap benak kami berkata. Karena perjalanan masih jauh untuk mencapai puncakmu, Mahameru.

Tak terhitung berapa kali kami beristirahat, hanya untuk sekedar mereguk segarnya air yang membasahi dahaga. Atau menaruh sejenak ransel jangkung kami, mempersilahkan pundak-pundak kami menikmati pijatan alami sang bayu yang bertiup lepas. Sedang sebagian dari kami menandai lekukan garis-garis topografi dengan titik-titik dan garis jalan yang telah kami lalui, memastikan jalan mana lagi yang akan kami tempuh. Persiapan kami matang, tapi tiap detik kami harus tetap memastikan bahwa perjalanan ini tidak berubah menjadi bencana karena kealpaan.

Semakin terjal, nafaspun semakin memburu. Tetap, niat tidak pernah berubah apalagi menjelma putus asa. Jika salah satu dari kami mengeluh, yang lain akan merubahnya menjadi tawa. Jika ada yang lelah, yang lainpun akan merubahnya menjadi ceria.

Perlahan puncak punggungan ini kami gapai, hutan pun sedikit tersibak. Jauh didepan, hamparan sejuk Ranukumbolo telah menanti kami. Tepat tengah hari, tepian Ranukumbolo menjadi persinggahan pertama untuk mengganti lelah kami dengan tenaga. Menghapus penat kami dengan semangat.

Tanpa berlama-lama, danau nan indah ini kami tinggalkan. Menapaki deretan bukit didepan yang membentuk lekukan hati. Mereka manamainya ‘tanjakan cinta’ berikut mitos yang menyertainya. “Barang siapa bisa melalui tanjakan ini tanpa istirahat, maka keinginan cintanya akan terkabul”. Namun bagi kami menyelesaikan tanjakan ini bagaikan menggapai sebuah ‘cinta’ yang penuh perjuangan. Cinta yang harus kita buktikan dengan peluh dan keringat untuk merengkuh dan menjaganya.

Dan benar adanya, kamipun disuguhi sebuah bukti cinta-Nya. Padang ilalang luas dan panjang yang selama ini hanya bisa kami nikmati dari film-film koboi barat. Padang ilalang itu ada di negeri ini. Negeri dimana sebagaian besar rasa nasionalisme hanya dibuktikan dengan berdiri menghormat merah putih tanpa tindakan nyata. Padahal negeri ini membutuhkan kita untuk memerdekakan kembali dari kemalasan, kebodohan hingga keterpurukan.

Gunung Bromo Tengger Semeru

Target sebelum petang sampai di Kalimati kami kejar. Metobolisme normal tubuh harus tetap diterapkan. Dimana tubuh harus butuh istirahat sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya yang semakin berat. Namun menggapai Kalimati bukan perkara mudah, meski jalan setapak hutan ini relatif landai. Jalan yang berliku dan panjang lebih menguras psikologis daripada fisik. Ditambah waktu yang terus berdetak menyusul malam selalu mengganggu pikiran kami.

Diambang tirai malam, Kalimati berhasil kami gapai. Tanpa perintah, masing-masing kami menunaikan tugas masing-masing untuk membuat camp craft. Tenda yang berjajar, sedikit perapian dan makan malam. Kemudian menyempatkan waktu untuk berjelaga dan mempersiapkan etape terakhir pendakian sebelum kami menikmati hangatnya kepompong tidur.

Dentang tengah malam memaksa kami untuk terjaga. Meski rayuan hangatnya berdesak-desakan dalam tenda lebih besar. But it’s time to summith attack!! Pendakian harus tetap dilanjutkan sesuai rencana. Strategi kami atur bersama sebagian dari asap rokok kami yang mengepul. Hangat kopi susu dan sejumput roti sepertinya cukup menjadi tenaga perjalanan terakhir menuju puncak. Tapi, itulah kealpaan pertama kami. Menginjak Arcapada yang begitu terjal. Perut kami pun mulai tidak bisa diajak kompromi sedang kami hanya berbekal sedikit minuman menuju puncak. Tak ayal, survival sosial kami terapkan. Sedikit meminjam beberapa bungkus mie instan kepada rekan pendaki lain dengan janji mengembalikannya waktu perjalanan pulang nanti.

Matahari sudah memancarkan garis-garis kemuningnya ketika Cemoro Tunggal berhasil kami lalui. Tim terpecah, sebagian dari kawan-kawan sudah jauh di depan. Sebagian lagi tertinggal dibelakang karena satu rekan kami harus dievakuasi turun ke Kalimati sedang alat komunikasi tidak berfungsi maksimal. Rencana B dijalankan dengan peran masing-masing. Tim yang didepan harus menyelesaikan misi mengibarkan bendera merah maroon di puncak Mahameru. Sedang tim evakuasi harus segera turun ke Kalimati.

Sepi tanpa suara di Kalimati ketika tim evakuasi menunggu tim puncak datang. Namun kesunyian itu sirna ketika tim puncak kembali bergabung membawa kabar bahwa bendera merah maroon telah berkibar di puncak Mahameru. Kembali haru menjadi satu, melebur semuanya menjadi sebuah kegembiraan. Pencapaian puncak Mahameru adalah keberhasilan tim, bukan keberhasilan individu.

Sampai titik ini, di hari ini setelah sepuluh tahun semua itu telah berlalu. Kami telah belajar dimana bukan puncak Mahameru yang kami tuju. Tapi saat itu justru kami telah memulai sebuah perjalanan dari sebagian episode kehidupan. Yaitu belajar. Belajar mengetahui dan mengembangkan kemampuan diri sendiri. Belajar memahami perilaku manusia dengan segala keabstrakannya. Dan tentunya belajar mencintai alam sebagai perwujudan mencintai Sang Pencipta.

Seperti wadah air minum yang selalu kami bawa ketika pendakian. Jika sebagaian orang mengisinya dengan air putih, kopi atau susu. Dan sebagian lagi mungkin mengisinya dengan wiskey, voodka atau bahkan martini. Tapi kami mengisinya dengan kebebasan, petualangan dan cinta.

1 comment:

  1. menjaab tanya dan revisinya: bahasa ttg kera untuk memudahkan penyebutan dan pengenalan. Karena ini bukan artikel yg mendalami ttg monyet atau kera....tetapi ttg makanan dalam survival sederhana saja..terima kasih atas revisinya..salam rimba Indonesia..

    ReplyDelete

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.