Kata-Kata Soe Hok Gie

Buku Gw
Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran. 

Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.

Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda. 

Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.

Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. 

Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun. 


Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi. 

Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir? 

Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis...

Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah. 

Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita. 

Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia. 

To be a human is to be destroyed. 

Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin. 

Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan. 

I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist. 

Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata. 

Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.

Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya. 

Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik. 

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.” 

“Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang...” - Soe Hok Gie, Zaman Peralihan 

1 comment:

  1. murid yang bodoh adalah melawan ketika di koreksi oleh guru _jec_

    ReplyDelete

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.