Belum Ada Judul (Aku Laki-Laki Tegar)

Penghantar jiwa pembawa mimpi. Bernaung di celah celah harapan. Terjaga sejuta persepsi terusik ketenangan hati. Disana kau ku dengar lihat ku senyuman yang indah, bertanya pada rumput yang bergoyang akan diamnya. Lagi lagi harus ku berlari dan berlalu akan lelahnya. Kepada siapa lagi ku percaya kalau bukan awan kepada siapa ku adukan kecuali rumput yang bergoyang? Angin masih setia membalut kebekuan tubuh ini, lelah ku robohkan padamu ilalang ku nyaman.harap ku buka mata kan menemani ku pada bintang di atas sana mengiringi bayang dan senyummu. Daun yang jatuh pun tidak pernah membenci angin.

Hari ini aku kembali menyaksikan kuasamu. Aku berjalan dirimba yang tak biasa. Hutanmu yang rimbun diselimuti kabut tebal, kabut yang terkadang berubah menjadi rintik hujan. Ketika hari mulai gelap para penyanyi malam mengalunkan lagunya. Mengisi kesunyian hutanmu seakan menghibur diriku yg melangkah tanpa kata. Dibalik misteri belantaramu tersimpan keindahan yang tiada tara. Sinar mentari menyelinap masuk kedalam rimbamu. Hutan lumutMu adalah lukisan nyata, mata ini dimanjakan oleh keindahanNya. Semua semakin indah ketika kabut menari-nari diatas Telaga Dewi yang aku kagumi.
 
Cukup cintai dia dalam diam, karena diammu adalah suatu bukti cintamu kepadaNya, dengan diammu itu dapat memuliakan kesucian diri dan hatimu juga. Jiwa dalam diammu tersimpan sebuah kekuatan dan harapan, hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan itu menjadi kenyataan. Hingga cintamu yang diam itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata dan bukan angan semata. "Bukankah Allah tak akan memutuskan harapan hamba yang berharap pada-Nya?"

Aku buka kembali album kenangan kala SMA dulu. Senyum manis tersirat diantara teman-teman lain dalam foto perpisahan kelas 3 itu. Setelan jas yang rapi dengan dasi menempel erat di leher. Foto itu terus aku tatapi.

“Aku mau meneruskan ke perguruan tinggi” ucap temanku dalam perbincangan di sela-sela istirahat waktu sekolah dulu.”

“Kamu mau meneruskan kemana Jojo?” Tanya temanku.

“Aku?” jawabku balik bertanya.

Aku tergagap bingung sendiri. “Suatu saat nanti jika lulus dari SMA ini, aku ingin meneruskan ke perguruan tinggi” batinku.

Aku masih terdiam, bingung mau jawab apa. Namun, aku pun dengan percaya diri menjawab “Aku mau meneruskan ke perguruan tinggi yang ada di Bandung Ren” ucapku dengan seyuman kaku. Itu adalah impianku untuk melanjutkan sekolah.

Dadaku serasa sesak, nafasku seakan tak berjalan dengan lancar, jantung berdegup semakin kencang dan mataku serasa makin memanas kalau meratapi keadaanku sekarang. Air mataku perlahan keluar dari peraduannya, sudah tak sanggup berdiam diri dalam keadaan mendesak ini. Aku juga laki-laki biasa yang kadang tegar dan kadang rapuh ketika ada masalah yang sangat pelik. Aku harus mengadu kepada siapa selain kepadamu ya Allah? Ingin ku mengadu pada bapak, tapi bapak telah dipanggil olehmu ya Allah. Air mataku semakin deras keluar.

“Bapak, aku kangen kamu, semoga kau tenang berada disi-Nya” batinku.

Setahun yang lalu bapa sakit keras, ada bagian dalam kepalanya yang selalu kesakitan. Ketika malam tiba, aku selalu mendengar rintihannya, menjerit kesakitan. Aku terbangun dan kemudian menghampirinya berharap aku salah dengar. Aku pun masuk ke dalam kamarnya, berharap dia baik-baik saja, dan ternyata dia memang sedang tertidur pulas. Aku mendekatinya, melihat raut wajahnya yang sedang tertidur. Keriput di wajahnya bertambah, menandakan semangat juangnya selama ini menghidupiku dan adikku.

“Bapak cepat sembuh! Jangan jadi orang yang sakit-sakitan” aku berbicara pelan dan mendekapnya. Aku terheran, setetes air mata keluar dari kedua matanya. Aku cepat-cepat mengusapnya. Bapak sedang tidur, tapi mengapa dia menangis. Entahlah, mungkin dia sedang bermimpi sedih di alam tidurnya. Aku pun kembali ke kamarku. Dan setiap malam aku selalu mendengar rintihan bapak, tapi ketika kucek ke kamarnya dia dalam keadaan baik-baik saja. Suatu ketika aku mengendap ke kamarnya, dia sedang kesakitan, memegang kepalanya. Dia terkejut ketika aku mengetahuinya.

Aku segera merangkulnya, “Bapak kenapa?” tanyaku. “Gak apa-apa ko nak!” ucapnya lemah. “ini cuma sakit kepala biasa, paling nanti juga sembuh dengan sendirinya” .

“Mending kita periksa ke dokter ya pak, daripada nanti sakitnya kambuh lagi” saranku.

“Periksa ke dokter bayarannya mahal nak, saat ini bapak lagi gak ada uang” jawabnya. Bapak memang cuma seorang tukang ojeg, penghasilannya pun pas-pasan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

“Kita minta ibu wesel uang aja pak!” ucapku.

“Ibumu di negeri sana belum tentu gajian, uangnya kan buat nanti biaya kamu nak” ucapnya sedih.

Aku kali ini benar-benar sedih, ingin membawa bapa tapi apa daya uang tak ada.

“Suatu saat, jika bapak pergi, kamu harus tetap bertahan hidup, gapailah cita-citamu nak! Jadilah anak yang tegar!” ucapnya sambil merangkulku.

Aku pun menangis, bapak ngomong seperti itu seperti akan pergi untuk selama-lamanya meninggalkan ibu, adik dan aku.

“Nak, jaga adikmu baik-baik. Sayangi dia seperti bapak menyayangi kamu, jangan biarkan dia kurang kasih sayang karena tak ada ibunya.” Ucapnya mengelus kepalaku.

Kami berasal dari keluarga yang serba pas-pasan. Karena ekonomi yang semakin mendesak, ibu terpaksa harus menjadi TKW di negeri orang sana. Sebenarnya aku dan bapak tidak mengizinkannya, tapi ibu mendesak dan akhirnya kami merelakan dia pergi. Ibu yang biasanya menyiapkan sarapan pagi seadaanya, sekarang jadi aku yang harus menyiapkan.

Kadang aku berfikir, mungkinkah bapak seperti ini karena bapak kesepian? Bapak merindukan ibu? Sudah setahun lamanya ibu berada di luar negeri sana.

Aku tidak memberi tahu ibu kalau bapak sakit, takut ibu khawatir terlalu berlebihan. Selain itu, aku dilarang bapak untuk memberitahunya. Penyakit bapak semakin parah, dan aku membawanya ke rumah sakit. Itu adalah dimana terakhir kali aku melihat bapak. Bapak menghembuskan nafas disana, Allah telah memanggilnya. Aku pun menangis sejadi-jadinya. Bapak mengapa begitu cepat kau berpulang ke alam sana. Padahal aku belum sempat membahagiakanmu. Bapak aku benci kamu. Mengapa kau meninggalkan aku dan adiku disaat kami masih belum siap tuk hidup tanpamu. Aku tak sanggup melihat adik kecilku yang terus menangis.

“kaka, bapak kenapa tidur terus? Udah ade bangunin tapi bapak matanya merem terus.” rengeknya.

Aku terharu biru, ingin aku jelaskan tapi mungkin dia gak akan mengerti. Suatu saat, setelah dia besar nanti mungkin dia akan mengerti.

Suatu hari ibu menelpon, menanyakan keadaan kami. Ibu tidak tahu kalo bapak sudah tiada, aku takut kalau ibu shock. “Ade, gimana kabar bapak?” ibu tiba-tiba bertanya itu pada ade kecilku.

“Ibu… ade kangen ibu, cepet pulang! kemarin ade lihat bapak tidur terus, dibangunin gak bangun-bangun” ucapnya merengek.

“Ade liat bapa pake baju putih-putih gitu, terus banyak orang ke rumah nangisin bapak. Bapak kan lagi tidur bu, kenapa orang-orang pada nangis. Bapak diem aja, gak seperti biasanya ngajak ade maen motor-motoran keliling pesawahan, bapak tidur terus” tangisnya.

“cup cup cup, bapak sedang kecapean mungkin de!” ucap ibu.

“Sekarang telponnya ke kakain” suruh ibu.

“Jo, ada apa dengan bapak? Ibu akhir-akhir ini sering gak enak perasaan. Bapak baik-baik saja kan? “ Aku menarik nafas panjang.

“ehhhhhhhhm ibuuuuu” aku berkata kaku.

“ada apa jo?” ucap ibu penasaran.

“ba….. pa…… ba… pa….” ucapku kaku.

“bapa sudah berpulang” tangisku meledak.

“kamu jangan ngawur ngomongnya jo! Kemarin dia baru nelpon katanya baik-baik saja, malahan dia nyuruh supaya ibu cepet pulang” ucapnya sambil terdengar suara tangisan dari sana.

“Bapamu itu jo, kenapa pulang mendadak tanpa pamitan ke ibu.” suara tangis ibu pun meledak sejadi-jadinya.

Suara telepon pun terputus. Aku gak tahu, bagaimana hancurnya perasaan ibu disana. “ Ibu baik-baik disana” batinku.

Ya Allah betapa berat cobaan yang aku terima. Setiap hari kulewati dengan wajah yang murung. Adeku selalu menanyakan bapa kemana, kenapa bapa gak pulang-pulang.

Hidupku semakin tak menentu, seperti tak ada tujuan hidup. Teman-teman dan sanak saudaraku datang saling menyemangati.

Astagfirulloh, aku tersadar dari lamunan panjangku. Foto yang sedang kulihat segera kututup. Aku tak mungkin bisa meneruskan sekolahku ke tingkat yang lebih tinggi. Sudah ku bilang niatku ke ibu tuk melanjutkan sekolah, namun ibu tak mengizinkan.

“sekolah tinggi tuh butuh biaya yang tinggi juga, ibu tak bisa membiayaimu” begitulah ucapnya. Aku

No comments:

Post a Comment

Terimakasih Untuk Komentar Anda Di Artikel Ini.